Cerpenku, coretanku

NING DAH

Wahidah melipat kembali surat yang baru selesai dibacanya. Ia menarik nafas panjang dan menghebuskannya berkali-kali.

Allah…ampuni hamba. Sekian lamanya hamba menggenggam dosa. Terimalah tobat hamba-Mu ini, Ya Allah…

****

Tak pernah Wahidah membayangkan menjadi istri seorang kiai atau gus. Apalagi semasyhur dan sezuhud Gus Muhammad Zuhri.

Dulu Wahidah hanyalah seorang santri yang mengabdi pada pesantren. Sejak MI sampai Aliyah ia sekolah dan berdomisili di pesantren itu juga.

Dan Gus Zuh, panggilan akrab gusnya, adalah seorang gus yang baik hati dan tidak sombong. Yang selalu menyapa ramah pada santri-santri abahnya.

Kemudian abahnya menjodohkannya dengan Wahidah. Kala itu Wahidah masih ragu. Ia sama sekali tak pernah bermimpi menjadi seorang ning dengan alasan tak ingin dipoligami. Sepengetahuannya, kebanyakan kiai atau gus beristri lebih dari satu.

Tapi karena rasa sungkan dan pengabdiannya, ia terima lamaran kiainya. Diyakinkan hatinya kalau gusnya itu tidak akan berpoligami seperti abahnya. Orang tuanya pun merasa begitu tersanjung dan bangga.

Setahun setelah menikah, Gus Zuh bersama Wahidah naik haji dan sepulangnya, mereka mengasuh pondok cabang dari pesantren abahnya.

“Mengertilah, Mi… Sebelumnya abah tak ada pikiran untuk menikah lagi. Tapi lihatlah keadaan Masrufah. Suaminya yang telah belasan tahun mengabdi pada abah meninggal. Sudah cukup lama ia menjanda. Anaknya tiga dan butuh biaya pendidikan. Sedangkan kehidupannya begitu melarat.”

“Kita memang wajib menolongnya. Tapi bukan berarti Abah harus menikahinya, kan? Atau abah ingin menikah lagi karena sampai sekarang ummi masih belum bisa hamil?”

Gus Zuh menghela nafas.

“Ummi! Dengarkan abah! Banyak laki-laki tidak benar yang berusaha menggodanya. Dan itu akan menimbulkan fitnah. Abah ingin melindunginya, Mi…berpikirlah secara jernih.”

“Apa urusannya dengan Abah? Dengan kita?”

“Masya Allah, Mi….” kembali Gus Zuh menghela nafas. Ia mengeleng-geleng tak mengerti.

Dan baru saja Gus Zuh membuka mulut ketika adzan dari mesjid yang diarsiteki sendiri oleh abahnya mengalun syahdu. Ia bergegas untuk mengimami solat asar.

“Badriyah!” Masih di dalam kamarnya, Wahidah memanggil santrinya yang sedang menyapu di ruang tengah.

Ka’dintoh1, Ning...” suara takzhim Badriyah terdengar dari balik pintu.

“Tolong diimami dulu.”

“Saya, Ning…”

Wahidah meremas-remas jilbabnya. Air matanya tumpah ruah.

Bapak…Emak…Hati Wahidah sakit sekali.

****

Bersama Badriyah, Wahidah keluar dari toko. Banyak sekali bahan pokok yang ia beli.

“Nanti mampir ke Masrufah dulu, Saiful!” Perintahnya pada sopirnya.

Dan Panther itupun melaju perlahan.

Sesampainya di depan sebuah rumah tembok yang belum dikuliti, Saiful menghentikan mobilnya.

Wahidah turun diiringi Badriyah di belakangnya. Ia bawa sendiri tiga bungkusan plastik besar dari toko tadi.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam warohmatullah…” Masrufah membuka pintu. “Oh, Ning Dah. Mari Ning, silahkan masuk.”

Dengan sopan dan penuh rasa hormat Masrufah menyambut Wahidah.

“Ini, Fah, untuk kamu. Mungkin kamu dan anak-anak membutuhkannya.” Wahidah menyerahkan bungkusan yang dipegangnya.

“Oh, mator sakalangkong abdhinah2, Ning… Ning Dah tidak perlu repot-repot. Kedatangan Ning Dah adalah suatu kehormatan terbesar bagi kami.”

“Tidak repot, kok, Fah.”

Dari halaman Wahidah melihat dua gadis cilik yang kucel dengan seragam SD yang sudah terlampau kusam warnanya berlari-lari, berlomba untuk lebih dulu sampai di pintu.

“Santi, Nurul! Yang sopan, ada Ning Wahidah!”

Seketika dua bocah itu mengerem langkahnya. Kemudian dengan takzhim mereka bersalaman dan mencium tangan Wahidah. Ada sedikit ingus yang menempel di punggung tangannya.

“Ida mana, Fah?” Tanya Wahidah setelah dua anak perempuan Masrufah masuk.

“Masih di pasar, Ning. Mungkin jualannya masih belum habis.”

“Ya sudah, Fah. Saya pulang dulu. Masih mau mengisi pengajian untuk santri.”

“Oh, baik Ning. Nyo’on saporah ta’ mangghi ponapah. Ngiring ka’dintoh3

****

Setelah mengisi pengajian kitab Wahidah langsung ke kamarnya. Makan malam yang disediakan Badriyah tidak disentuhnya.

“Masih pusing, Mi?” Gus Zuh masuk sambil membuka surbannya.

Pendhenan4.”

“Abah suruh Badriyah beli obat?”

“Tidak perlu.”

Gus Zuh merebahkan tubuhnya di samping Wahidah. Wahidah memunggunginya.

“Abah.” Wahidah menarik nafas. “”Kalau Abah memang mau menikahi Masrufah, ummi izinkan.”

Spontan Gus Zuh bangun. “Ummi yakin?” Ia seakan tak percaya.

“Insya Allah.”

Jawaban dingin Wahidah sudah cukup membuat Gus Zuh merasa lega.

****

Hidup satu atap dengan tiga nyawa ternyata membuat Wahidah bagai serasa berada di neraka -sesuai permintaan Masrufah, ketiga anaknya berdiam di pondokan bersama para santri.

Terlalu banyak iblis yang bergelayut di pundaknya, hingga tak ditemukan keikhlasan di hatinya. Dadanya serasa dipukul-pukul dengan palu setiap kali melihat sang suami memberikan perhatian pada Masrufah.

Benteng pertahanan Wahidah roboh sudah. Ia tak sanggup lagi. Ia pun memohon ijin pulang ke rumah orang tuanya untuk sementara waktu. Ia benar-benar butuh ketenangan.

Dengan arif Gus Zuh mengijinkan. Masrufah berkali-kali meminta maaf.

“Kamu tidak perlu meminta maaf, Fah. Ini bukan salahmu. Bukan salah siapa-siapa. Saya hanya butuh ketenangan sebentar.”

“Berarti selama ada saya di sini, Ning Dah tidak merasa tenang…?” Masrufah tidak mau mengubah panggilan pada orang yang sangat dihormatinya itu.

“Sudahlah, Fah. Semua sudah terjadi. Do’akan saya semoga saya selalu mendapat hidayah Allah.”

Wahidah pulang diantar Badriyah dan dua santrinya yang lain. Seperti biasa, Saiful yang menyopir. Ia sama sekali tak mau kalau Gus Zuh yang mengantarnya.

****

Seminggu dua minggu. Sebulan dua bulan.

Kini sudah tiga bulan Wahidah tinggal di rumah orang tuanya. Berkali-kali Gus Zuh menjemputnya. Para santri sudah menunggu perjuangannya menyalurkan ilmu Allah.

Tapi Wahidah masih merasakan beku di jiwanya. Bahkan mertua yang sangat diseganinya tak mampu melelehkan kebekuannya. Orang tuanya pun sudah angkat tangan.

Wahidah membelai perutnya yang buncit. Ia baru menyadari kehamilannya setelah kepergiannya dari pesantren. Ia begitu betah untuk tidak menggubris Gus Zuh yang tak bosan-bosan mengajaknya pulang.

“Ummi ingin selalu berada di sisi emak di masa-masa kelahiran bayi ini. Tolong, Bah, pahami ummi… dan ummi mohon Abah tidak memaksa ummi…” begitu katanya selalu.

Dan sungguh Gus Zuh telah kecewa. Tak pernah ia menyangka, istrinya yang terkenal penyabar itu telah memendam rasa sakit yang terlampau mendalam.

****

Sore itu…

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Wahidah. Suara yang sudah bertahun-tahun akrab di telinganya.

“Dah, Gus Zuh dan Ning Mas datang.” Emak setengah berbisik.

Bapak keluar, membuka pintu dan dengan penuh rasa hormat mempersilahkan menantunya masuk.

Aroma bayi yang khas tercium oleh Gus Zuh begitu ia dan Masrufah duduk di ruang tamu. Sedang Saiful menunggu di mobil.

Wahidah keluar dengan menggendong bayinya diiringi emak yang merangkul bahunya. Wajahnya pucat. Matanya cekung dan tubuhnya begitu kerontang.

Gus Zuh menatapnya penuh kerinduan. Kemudian ia menoleh ke bapak.

“Maaf Bapak, Emak. Saya rasa surat saya sudah mewakili maksud kedatangan saya dan Masrufah.”

“Maaf, Gus. Keputusan tetap di tangan Wahidah. Kami orang awam yang bodoh, tidak mengerti apa-apa.” Suara bapak terdengar sedikit bergetar.

Gus Zuh melihat pada Wahidah yang menunduk dalam.

Masrufah menghampiri dan duduk di dekatnya.

“Ning Dah… saya selalu berdo’a agar Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya untuk kita…”

Wahidah terguncang-guncang. Masrufah memeluknya. Dua perempuan berstatus sama itu menangis.

“Jangan panggil saya ning, Fah. Saya adalah mbakmu. Mbhuk5 Dah.”

Alhamdulillah….

Terdengar hembusan nafas-nafas lega.

Tanpa buang-buang waktu lagi, Masrufah membantu mbhuk-nya membereskan pakaian.

Dengan air mata yang terus mengalir Wahidah mencium tangan orang tuanya takzhim.

Di dalam mobil, Gus Zuh mendekap darah dagingnya. Menciumi pipinya yang lembut dan montok.

Kelak kau akan menjadi penerusku, malaikat kecilku…

Dipandanginya wajah mungil yang mewarisi wajahnya itu lekat. *

Jember, 13 Mei 2008



1 Sahutan untuk orang yang lebih tua atau orang yang dihormati dalam bahasa Madura.

2 Saya haturkan terima kasih.

3 Mohon maaf tidak mendapat suguhan. Saya mengantar sampai di sini.

4 Mendingan, agak baikan.

ENAKNYA JADI PEJABAT

“Ayah, Edo nanti main bombom car ya, Yah…boleh kan?” Celoteh Edo begitu memasuki Matahari.

“Iya, tapi janji Edo nggak boleh nakal!”

Taufik menggandeng anak keduanya. Riris si bungsu lelap dalam gendongan istrinya. Sedang Adi, anak sulungnya sudah mengobrak-abrik baju di kotak yang mendapat potongan harga hingga lima puluh persen.

“Adi, di sini lho, baju bagus-bagus. Cocok buat kamu.”

Istri Taufik menunjukkan baju-baju yang digantung berjejer, dengan kualitas mewah dan harga yang wah.

Dan istrinya membantu mencarikan baju yang cocok buat Adi. Sedang Taufik membantu mencarikan sepatu buat Edo. Sejak kemarin dia sudah merengek minta dibelikan yang baru.

“Ayah, yang ini bagus. Edo suka, Yah.” Edo menjangkau sepatu yang terletak tepat di atas kepalanya. Warnanya biru tua berkombinasi putih dan kuning.

“Dicoba dulu.”

Edo mencobanya. “Wah, kebesaran Yah,” mulutnya monyong.

“Maaf, Mbak. Yang model seperti ini ada yang ukuran tiga tujuh, Mbak?”

Tanya Taufik pada salah seorang karyawati cantik dengan sanggul rapi, memakai baju dan rok warna hitam serta stoking dan sepatu fantovel dengan warna senada.

“Maaf, Pak, kalau yang seperti ini lagi kosong.” Jawabnya sopan.

Edo tambah monyong. Karyawati itu tersenyum.

“Coba yang ini, Dik. Bagus, kan? Pasti cocok sama Adik.”

Karyawati itu menunjukkan sepatu yang lebih keren dan Taufik lirik harganya pun lebih mentereng.

Mata Edo bersinar. Kelihatannya dia suka. Dia pun langsung menyambar dan mencobanya.

“Wah, pas Yah! Edo mau yang ini!”

Taufik tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sedang Karyawati itu kelihatan senang.

“Bagaimana, jadi yang ini, Pak?”

“Iya, Mbak.”

Taufik menuju kasir dan setelah membayar ia dan Edo menghampiri istrinya.

“Gimana, Buk? Sudah dapat bajunya?”

“Iya, Yah. Liat nih, Adi sampai beli tiga stel. Edo mau beli juga?”

Edo mengeleng. “Nggak. Edo kan udah beli sepatu.”

“Ya sudah. Yah, tolong dibayarin. Ibuk mau belanja kebutuhan dapur sekalian beli susunya Riris.”

Kepulangan pembantunya membuat ia harus kerepotan sendiri.

Taufik hanya menurut.

Dengan keranjang dorong, istrinya menuju Supermarket. Edo ikut-ikutan milih.

“Buk, susu coklat buat Edo, ya?”

“Sekalian beli dua. Kakak juga doyan.”

Tiba-tiba Taufik dan Adi sudah berada di dekatnya. Dilihatnya keranjang istrinya sudah sesak.

“Ayah?! Ibuk sampai kaget.”

Taufik tertawa kecil.

“Ambil roti tawar juga, Buk. Selainya yang cokelat. Anak-anak lebih suka.”

“Iya, ini Ibuk sudah ambil. Sudah cukup, Yah.”

Keranjangnya kini sudah lebih dari penuh. Taufik mendorongnya ke kasir dan antre menunggu giliran.

“Yah, liat perempuan yang pake baju merah bata itu!” Istri Taufik berbisik sambil menunjuk antrean depan.

Taufik mengikuti arah yang ditunjukkan istrinya. “ Itu Bu Rasmi. Memangnya kenapa, Buk?” Taufik mengerutkan keningnya.

“Belanjaannya banyak sekali, Yah. Padahal utangnya sama ibuk belum dibayar sepeserpun.”

“Sudah, Buk, diikhlasin saja.”

“Apa? Uang sebanyak itu diikhlasin begitu saja? Memangnya cari duit gampang, apa?”

“Sudah, Buk. Yang cari duit kan ayah. Lagian, kapan lagi kita bersedekah? Tuhan akan melipatgandakan rizki kita, Buk.”

“Dengan sedikit berkorupsi?”

Istri Taufik mendekatkan mulutnya ke telinganya. Suaranya nyaris tak terdengar.

“Maaf, Bu. Ini belanjaan Ibu, kan?” Karyawati di kasir mengagetkan istri Taufik.

“Oh, iya, Mbak. Maaf. Jadi berapa semuanya, Mbak?”

Taufik segera membayarnya lalu menitipkan barang belanjaannya yang menumpuk.

Merekapun naik escalator menuju lantai atas.

“Ibuk cari baju dan keperluan Riris dulu, Yah. Ayah sama anak-anak ke atas duluan. Nih, Riris sudah bangun.”

Taufik mengambil Riris dari istrinya. Dan kembali ia dan anak-anak naik escalator menuju lantai tiga.

Sesampainya, Taufik langsung membeli koin. Ia bersama Edo dan Riris bermain bom bongkar. Sedang Adi bermain time zone.

Setelah puas, Taufik memilih boneka untuk Riris. Edo memilih robot-robotan, dan Adi masih asyik dengan permainannya.

“Yah, Ibuk sudah belanjanya. Gimana? Kita pulang sekarang?” Istrinya muncul dengan dua plastik besar di tangannya.

“Ayah bayar ini dulu. Edo, panggil kakak! Bilang kita sudah mau pulang.” Taufik menerima robot-robotan dari Edo.

“Nggak makan es krim dulu, Yah?” Edo belum beranjak.

“Lain kali aja, sayang. Ayah sudah capek. Ya?”

Edo mengangguk dan berlari memanggil kakaknya.

****

“Yah, nanti ke Gramedia dulu, ya… Adi mau cari buku. Buku pelajaran, Yah. Ya Yah, ya….” Adi memasang muka melas begitu mereka sudah di mobil.

“Ya sudah. Tapi ayah nggak ikut. Oh ya, katanya Ibuk mau beli buku resep kue sama majalah? Sekalian saja, Buk.”

“Oh iya. Hampir saja ibuk lupa.”

“Mad, berhenti di depan gang saja. Kamu antarkan ibu dan anak-anak. Aku ke rumah naik becak saja.” Perintah Taufik pada Ahmad, sopirnya.

“Baik, Pak.”

Tepat di depan mulut gang, Honda Jazz Taufik berhenti. Ia pun turun dan menghampiri abang becak yang terkantuk-kantuk seperti dirinya.

“Kok turun duluan, Pak?” Abang becak mengayuh santai.

“Iya, Bang. Saya capek sekali. Seharian ngantor, membuat saya ingin cepat-cepat istirahat.”

“Enaknya jadi pejabat. Capek karena seharian di kantor. Sedang saya, capek karena seharian menunggu penumpang yang nyaris hampir tak ada.” Abang becak bergumam seperti pada dirinya sendiri.

Sedang Taufik rasakan matanya semakin berat. Dibelai angin malam, ia pun terlelap.

****

“Bang! Mau narik, nggak?! Woi, Bang! Banguuun!!!”

Topek tersentak dari mimpinya.

“Eh, oh… I, iya Neng…”

Dua gadis gendut sedang berdiri di depannya. Kedua tangannya menenteng tas plastik putih berlogo matahari.

Tiap hari tiap malam Topek mangkal di sekitar Plaza Johar. Dia hanya mampu memandang orang yang lalu lalang keluar masuk Matahari. Dia sendiri belum pernah menyentuh lantai ruangan ber-AC itu.

“Mau pulang, Neng?”

“Ya iyalah, Bang. Udah malem nih…”

Dua gadis itu naik. “Gang empat, Bang.”

Dengan sekuat tenaga ia mengayuh. Melewati Jalan Diponegoro yang penuh dengan jejalan kendaraan dan manusia.

Bebannya kali ini sangat berat. Tapi tak seberat beban di hati dan pikirannya.

Sehabis mangantar dua gadis itu ia akan langsung pulang. Dan ia sudah siap dengan semprotan istrinya.

Istrinya akan mengomel karena ditagih uang kontrakan oleh Bu Rasmi. Paginya, Topek akan disambut dengan rengekan Edo karena sepatunya yang sudah sobek. Belum lagi desakan Adi yang minta dibelikan buku karena selalu kena marah oleh Pak Ahmad, gurunya.

Topek juga akan merasakan pusing tujuh puluh keliling dengan tangisan Riris yang membutuhkan susu.

Dan Topek rasakan kakinya seakan dirantai beton ribuan kilo. *

Jember, 14 Mei 2008




CERITA SI GADIS DESA

A’yun hanya tertawa-tawa kecil sambil terus membilas cuciannya di samping Lik Karti, wanita gendut setengah baya, tetangganya itu.

“Kok malah ngguyu-guyu? Ini belum selesai ceritanya. Kamu ini memang aneh,” Lik Karti geleng-geleng kepala.

“Kalau sudah tau aneh, kenapa Lik Karti memilih saya? Perempuan seperti saya ini nggak ada bagus-bagusnya, Lik. “

“Dengarkan dulu, “ sejenak Lik Karti diam. A’yun pun menutup mulutnya.

“Walaupun kamu ogros, celometan, dan suka naik-naik pohon rambutan, tapi kamu sayang anak kecil. Telaten dan sabar menghadapi kenakalan mereka. Lik nggak pernah liat kamu marah pada anak kecil, apapun yang mereka perbuat ke kamu. Dan siapapun tau itu.”

A’yun hanya menunduk. “Sudah, Lik. Lik Karti terlalu berlebihan. Namanya juga anak kecil, kelakuannya suka aneh-aneh, masak mau dimarah-marahi?”

“Dengarkan dulu!”

Spontan A’yun menutup kembali mulutnya.

“Sebelumnya Yu Pinah juga nunjukin Si Zahra, tapi Lik pribadi, juga keluarga yang lain lebih suka sama kamu. Siapa coba, yang sudah kenal kamu terus nggak suka sama kamu? Lik rasa nggak ada. Semua orang suka kepribadianmu. Semua orang suka ke-grapyak-anmu “ Lik Karti tersenyum memastikan. A’yun pun semakin menunduk.

“Ya sudah, kamu sudah siap untuk ketemu sama laki-laki itu kan, nduk?” Lik Karti menggenggam tangan A’yun.

“Insya Allah, Lik.” A’yun mengangguk. “Lik, saya duluan.” Lalu A’yun naik dari sumber sambil membawa satu bak cuciannya.

“Yun!” Panggil Lik Karti lagi. “Lik dan keluarganya Kang Parto nggak akan bilang-bilang sama pak de dan bu demu sebelum ada kepastian dari kalian.”

A;yun hanya mengangguk. Kalian? A’yun dan laki-laki yang belum dikenalnya itu, maksudnya? Dan A’yun hanya cekikikan menuju rumahnya.

****

Malamnya A’yun tak dapat memejamkan mata. Ia terbayang-bayang akan pertemuannya minggu depan. Apa yang mesti dikatakannya nanti?

A’yun teringat Zahra, sepupunya yang tinggal serumah. Dia setahun lebih muda darinya. Tapi dulu sempat tiga tahun sekelas waktu MTs. Lulus MTs A’yun meneruskan ke Aliyah di Pondok. Dan lulus Aliyah A’yun kembali tinggal bersama pak denya, tinggal kembali bersama Zahra sepupunya.

Zahra adalah gadis yang pendiam dan sangat cantik. Sejak MTs dulu, ia banyak disukai teman-teman laki-lakinya. Entah sudah berapa kali ia pacaran, baik Zahra ataupun A’yun sudah lupa. Hingga kini, banyak pula cowok-cowok yang ingin meminangnya.

Berbeda dengan A’yun. Selama lebih dari sembilan belas tahun menghirup udara, belum pernah ia merasakan yang namanya pacaran. Dan belum pernah ia merasakan disukai cowok. Selama ini, kebanyakan orang tua-tua yang menyukainya. Sering ia mendengar mereka, bapak-bapak atau ibu-ibu yang berkata, “Seandainya aku punya anak laki-laki”, atau “ Seandainya Si Tole belum kawin”, atau lagi, “Seandainya anakku sudah cukup dewasa”, mereka akan bilang: “Pasti aku jodohkan dengan Si A’yun.”

Bahkan ada juga yang bilang padanya: “Semoga nanti setelah besar, anakku kayak kamu, Dek. Baik pada semua orang.” Katanya sambil membelai-belai anak dalam gendongannya.

“Ah, Mbak bisa aja.” Dan A’yun selalu cekikikan setiap mendengar kata-kata yang menurutnya terdengar aneh di telinganya. Sungguh, tak ada yang istimewa dari seluruh dirinya.

A’yun senyum-senyum sendiri. Apakah desa ini terlalu pelosok, atau orang-orangnya terlalu awam, atau bagaimana, hingga dirinya yang bukan apa-apa itu begitu dielu-elukan? Bahkan, Zahra yang standart artis itupun pernah bilang: “Enaknya jadi Mbak Yun, ya. Ke mana-mana selalu pradhu sama orang.”

A’yun menghela nafas panjang. Ia kemudian menarik selimutnya dan terlelap dengan sendirinya

****

Minggu pagi A’yun sudah terlihat segar sehabis mandi.

“Dek Zahra, minta jarum pentulnya, sekalian numpang ngaca. “ A’yun masuk ke kamar adik sepupunya yang terbuka.

“Ya, ambil di dalam laci. Sisanya kembalikan lagi ke tempatnya. Yang rapat nutupnya, Mbak. Kemarin ibu pinjam gunting nutupnya nggak rapat. Kalu sudah make jilbabnya, Mbak tunggu ndek teras aja. Terus pintu kamarnya tutup. Aku mandi dulu.” Setelah berkata begitu, Zahra keluar dari kamarnya. Dan A’yun hanya tersenyum sendiri.

Sebenarnya A’yun sangat jarang berkaca karena memang di kamarnya tidak ada cermin. Berjilbab pun begitu saja dibungkuskan ke kepalanya. Ia juga tak pernah macak walau setipis apapun. Alat rias yang ia punya hanyalah sisir berwarna hitam satu-satunya.

A’yun memandang kembarannya di cermin. Tak ada keindahan apapun di wajahnya. Ia terlalu biasa menjadi seorang manusia. Postur tubuhnya pun pendek, tak ada menarik-menariknya. Kalu boleh jujur, satu yang paling A’yun suka dari fisiknya: bulu mata yang panjang dan lentik. Ah, A’yun jadi malu sendiri.

Setelah selesai berjilbab, A’yun keluar dari kamar Zahra dan menunggunya di teras rumah. Menunggu Zahra sudah tentu lamanya takkan terkira, karena mematut-matut diri di depan kaca memang hobinya. Dalam penantian panjangnya itu, A’yun gunakan untuk berkhayal kira-kira apa saja yang akan dibicarakannya tiga hari lagi dengan laki-laki yang lagi nyari jodoh, yang konon kata Lik Karti rumahnya di sebuah desa yang juga terpencil, di Banyuwangi.

A’yun hanya tertawa-tawa sendiri seperti orang gila. Orang-orang dari mencari kayu di kebun cokelat, yang kerap kali lewat di depan rumahnya, memandangnya aneh. Dan A’yun menyapa mereka dengan aneh pula, membuat mereka pun semakin merasa aneh. Benar-benar orang aneh Si A’yun.

****

“A’yun!” Lik Karti memanggilnya sambil melambaikan tangan dari pintu dapurnya yang hanya berjarak dua puluh meter dari rumahnya.

A’yun berlari-lari kecil.

“Begini, Nduk,” Lik Karti berdehem, begitu A’yun duduk di kursi di dapurnya.

Anu, Nduk. Laki-laki yang katanya lik kemarin itu nggak jadi ketemuan sama kamu. Keluarganya lagi kena musibah.” Tanpa basa-basi, Lik Karti langsung pada pokok persoalan.

Dan A’yun tersenyum lebar. “Alhamdulillah….” Katanya sambil mengusap-usap dada. “Nggak apa-apa, Lik. Malah saya sekarang lega jadinya.”

Lik, keluarga di sini, dan keluarga di Banyuwangi minta maaf, Nduk…”

“Oh, nggak apa-apa kok, Lik. Nggak perlu minta maaf segala.”

A’yun menarik nafas lega. Dan ia pulang sambil senyum-senyum seperti biasanya. Lik Karti memandangnya sambil geleng-geleng kepala.

Dari dulu A’yun memang tidak suka dengan yang begitu-begituan. Ia inginkan seseorang yang sudah benar-benar mengenal dirinya. Yang bukan karena petunjuk dari orang lain. Yang sudah sangat tau akan dirinya, kesehariannya, dan segala kekurangannya. Yang mencintainya secara biasa, sederhana, apa adanya. Karena hanya kesederhanaan yang punya.

****

“Yang ini cakep ya, Bu.” Bu Dewi menunjuk foto laki-laki berbaju biru di albumnya. A’yun hanya tersenyum.

Bu Dewi adalah teman sejawatnya. Sering dia mengajak A’yun mampir ke rumahnya setelah mengajar di TK.

“Dia teman suami saya. Dia juga keponakannnya Lik Parto, Bu Yun. Katanya saat ini dia sedang mencari jodoh. Dengar-dengar katanya Lik Karti yang nunjukin dia seorang cewek dan rencananya mau ketemuan. Tapi dua hari sebelum ketemuan, dia datang ke rumahnya Lik Parto dan melihat cewek itu tanpa sepengetahuannya.” Tanpa diminta, Bu Dewi bercerita panjang lebar.

Dan kini A’yun sadari kalau dirinyalah perempuan yang dimaksud. Sekali lagi, A’yun hanya mampu tersenyum.

“Kemarin dia ngebel suami saya. Katanya cewek yang ditunjukin Lik Karti dan saudaranya di sini sama sekali nggak level dengnnya. Suami saya ngakak. Dasar Si Fadlan, hahaha….” Bu Dewi tertawa mengakhiri ceritanya.

Sekali lagi A’yun hanya tersenyum. Ia ingat, sehari sebelum Lik Karti memanggilnya, Zahra bilang kalau ia melihat ada cowok keren yang memperhtikannya tadi saat menjemur pakaian di belakang rumah. Dan A’yun tertawa saja mendengarnya, seperti tawa Bu Dewi barusan. Mungkin Si Fadlan itulah laki-laki yang dimaksud Zahra.

Betapa A’yun tak bisa ungkapkan rasa yang ada di hatinya saat ini. Rasa yang ia tak tau namanya. Rasa marah? Tapi marah pada siapa? Rasa sedih? Untuk apa bersedih? Rasa malu? Kenapa harus malu? Rasa benci? Lalu siapa yang harus dibenci?

Duhai, betapa A’yun berusaha sekuat mungkin untuk tidak menjatuhkan air matanya. Menangis hanya akan memamerkan kelemahannya.

Sudahlah, A’yun… Bukan jodoh targetmu saat ini. Biarkan semua menjadi rahasia Allah. Bukankah keinginanmu adalah kuliah seperti teman-temanmu? Menjadi mahasiswa sastra adalah dambaanmu sejak MTs, sejak enam tahun yang lalu. Telah terlalu banyak kehidupan yang menunggu untuk kau kisahkan dalan tulisan-tulisanmu...*



Jember, 2008




BERIKAN KALUNGMU UNTUKKU

Anas baru saja selesai solat sore itu, emaknya sudah marah-marah tak karuan. Dia hanya mendesah pelan. Terdengar suara batuk bapak di kamar.

Susah sekali hidup ini! Bapakmu sakit nggak sembuh-sembuh. Bagaimana emak mampu membeli obat, wong buat makan saja susah. Ayam-ayam juga sudah sering dijual.” Begitu omelan emak setiap hari. Tanpa henti. Dari pagi, siang, sore, hingga malam hari.

Anas hendak keluar dengan baju “dinas”nya: celana pendek, baju lusuh dan penuh getah, serta sarung tak layak pakai yang digantung di pundaknya.

“Kamu lagi!” Suara emaknya membuat langkahnya tertahan di pintu. “Harus pateng kerja dan jangan sakit-sakitan kayak bapakmu!”

Anas hanya menoleh sedikit dan terus menuju kandang di belakang rumahnya.

****

“Kak Anas!” Suara khas yang sudah lekat di telinga Anas terdengar dari belakang.

Anas menoleh. Dilihatnya Tika berlari-lari masih dengan seragam merah putihnya. Dengan rambut berombak sebahu yang diterpa angin, gadis cilik berumur sebelas tahun itu terlihat cantik sekali.

“Aku ikut!” Katanya lagi dengan senyum merekah. Anas hanya diam dan terus menggiring kambing-kambing gembalaannya. Semuanya adalah milik Haji Ridwan, ayah Tika. Orang kaya dan terpandang di desanya.

Sesampainya di sawah, Anas membiarkan kambing-kambingnya berkeliaran sambil merumput. Senang sekali mereka. Tak pernah merasakan duka seperti dirinya. Sedang Tika asyik makan keripik singkong di atas dangau. Sudah berkali-kali ia tawari cemilan favoritnya itu pada Anas. Tapi Anas hanya menggeleng-geleng saja.

“Kak Anas!” Tika turun dari dangau dan duduk di dekat Anas setelah keripiknya habis.

“Kemarin aku di belikan kalung sama ibu. Sudah lama aku pengin kalung yang ada kristalnya.” Tika menunjukkan kalung dari balik krah bajunya.

Anas hanya menoleh sedikit. Dilihatnya seutas kalung yang melingkar indah di leher Tika. Pasti emas murni dan harganya sangat mahal, pikir Anas. Kemudian ia berdiri dan menuju kambing-kambingnya. Setelah dapat mengaturnya, Anas meggiring kambing-kambing itu untuk pulang.

“Kak Anas, kok sudah mau pulang? Masih jam berapa nih?” Tika melihat Citizen di pergelangan tangannya, yang tentu saja juga sangat mahal.

“Kita kan harus mandi dan siap- siap ke langgar.”

Di sepanjang perjalanan pulang, Tika terus saja berceloteh. Ia Ceritakan kisahnya di pasar saat ikut ibunya ke toko perhiasan. Diceritakannya pujla bagaimana ia kebingungan memilih kalung yang paling bagus. Dan Anas hanya diam, menjadi pendengar setianya.

Tiba-tiba Tika kesandung gumuk kecil di depannya dan jatuh. Tika pun meringis kesakitan. Anas hanya tersenyum tipis tanpa bernafsu untuk menolongnya.

****

Malam itu batuk bapak semakin menjadi. Emak yang di dekatnya terus saja mengomel tanpa henti. Ah, bapak. Beliau terlalu sabar menghadapi istrinya yang cerewet. Cerewet karena keadaan. Cerewet karena kemiskinan dan penderitaan.

Dua minggu yang lalu bapak ke dokter dengan mengorbankan giwang emak yang hanya setengah gram. Dokter memberikan resep obat pada emak yang sampai sekarang tak mampu untuk di tebus. Dan Anas pun tak tau apa yang harus dilakukan. Apa yang dapat diperbuat anak kelas dua SMP seperti dirinya?

Anas menghela nafas. Ia teringat Tika yang sering menemaninya menggembala. Banyak sekali cerita-cerita yang diutarakan padanya. Cerita tentang kesenangannya. Kebahagiaannya. Hari-harinya yang selalu ceria tanpa lara.

Pernah Tika menangis-nangis pada Anas. Dan itu hanya karena kucing kesayangannya mati ditabrak mobil. Tapi dua hari kemudian senyum Tika kembali mengembang setelah Haji Ridwan membelikan angora seharga satu setengah juta!

Ah, Tika. Betapa Anas selalu iri mendengar cerita-ceritanya.

****

“Gimana, Kak…. Hiks!” Tika sesenggukan di dekat Anas. Air matanya terus mengalir seperti aliran sungai di belakang rumahnya.

“Aku takut dimarahi ibu, Kak. Aku takut mau bilang kalau kalung itu hilang. Hiks!” Tika mengakhiri ceritanya. Ia terus saja menangis sambil memeluk kedua lututnya.

“Toh ibumu masih bisa membelikan kalung yang lebih mahal dan lebih bagus dari itu.” Gumam Anas. Hanya bergumam, tapi tentu saja membuat Tika kaget mendengar nya.

“Kak Anas jahat!” Tika mendorong bahunya hingga jatuh. Dan ia belari berhambur di antara kambing-kambing yang berkeliaran. Tika pulang meninggalkan Anas sendiri.

Anas menghela nafas panjang. Ia merogoh sakunya. Dipandanginya sebuah kalung dalam genggamannya.

Betapa masih begitu segar dalam ingatan Anas kejadian semalam sepulang dari langgar. Seperti biasa, Tika selalu membuka kerudungnya di jalan sebelum sampai di rumah. Dan tanpa disadarinya, kalungnya lepas dan jatuh ke tanah. Saat itu hanya Anas yang tau. Tanpa sepengetahuan Tika dan teman-teman lainnya, Anas memungut kalung itu.

Anas memejakan mata dan kembali memasukkan kalung itu ke saku celananya.

****

Benar-benar mujarab. Baru beberapa hari meminum obat, setelah kembali periksa ke dokter, bapak kembali sehat seperti semula. Emak senang, tapi tetap tidak menyurutkan omelannya setiap hari. Tapi tak apalah. Anas sudah terbiasa. Dan ia pun sekarang sangat senang melihat bapaknya yang kembali bugar.

Tapi belum lagi ia selesai berdoa sehabis shalat, emaknya berteriak-teriak memanggilnya. Cepat-cepat Anas keluar dari kamar dan datang pada emaknya.

“Siapa yang ngajari kamu nyolong, hah?!”

Dilihatnya emaknya sudah siap dengan kayu rotan di tangannya. Anas hanya diam. Dan….

CTAR! CTAARR!!

Pukulan bertubi-tubi mendarat di betisnya.

“Kenapa kamu bilang uang buat beli obat bapak itu adalah uang tabunganmu, padahal kamu nyolong kalungnya Tika terus kamu jual?!”

“Saya memang minta uang tabungan pada pak guru, Mak… Tapi nggak cukup….” Anas menggigit bibirnya menahan sakit di betisnya.

“Terus kamu nyolong kalung, begitu?!”

Anas diam sambil terpejam.

“Emak malu. Barusan di warung Si Patma bilang waktu ke pasar dia melihat kamu menjual kalung seperti kalungnya Tika yang hilang!” Emaknya terus memarahi nya sambil tak henti-hentinya memukul betis Anas.

Semua orang tau, kalau Mbak Patma, pembantunya Haji Ridwan itu tukang gosip. Tapi hal itu benar. Anas memang menjual kalung Tika di pasar. Tapi ia tak menyadari kalau Mbak Patma melihatnya.

Anas pasrah saja dengan serangan emaknya. Betis yang sudah mengeluarkan darah itu begitu sakit dirasakannya. Tak ada yang dapat menolongnya. Bapaknya yang selalu membelanya sudah boleh turun ke sawah. Ia hanya diam tanpa suara. Tanpa air mata.

****

Dengan sepenuh rasa malu yang tiada tertara, Pak Muijib bersama Anas dan emak, ke rumah Haji Ridwan untuk meminta maaf dan berjanji akan mengganti kalung yang telah dijual Anas. Padahal dia tak tau bagaimana dan dengan cara apa dia dapat mengganti kalung itu.

Tapi sungguh di luar dugaan, Haji Ridwan dan istrinya sama sekali tidak marah.

“Sudahlah Kang, kami ikhlas. Saya juga minta maaf. Kakang sudah lama bekerja di sawah saya, dan Anas sudah lama juga menggembala kambing-kambing saya. Seharusnya saya lebih memperhatikan kesusahan Kakang. Saya benar-benar tidak tau kalau Kakang sudah lama sakit.” Begitu kata Haji Ridwan dengan senyuman tulusnya. Dan istrinya mengangguk mengiyakan.

Pak Mujib sangat berterimakasih. Ia tak tau bagaimana ia harus ungkapkan rasa termakasihnya itu. Emak sampai menangis segala. Dan Anas hanya menunduk dalam, sedikit pun ia tak berani mengangkat mukanya.

Saat pamit pulang, Anas melihat Tika yang rupanya sedari tadi mengintip dari balik pintu. Anas menunduk kembali. Sungguh ia sangat malu pada gadis kecil yang selalu baik padanya itu.

****

Seperti biasa, Anas duduk di atas rumput sambil memandangi kambing-kambing gembalaannya. Tiba-tiba Tika datang juga seperti biasanya, masih dengan seragam sekolahnya dan duduk di dekatnya.

“Aku minta maaf, Tik.” Katanya lirih tanpa menoleh. Ia menunduk memandangi rumput di bawahnya.

Tika tersenyum. “Sudahlah Kak. Nggak usah dipikirin. Nggak usah diingat-ingat lagi. Udah selesai.” Tika berdiri dan maju beberapa langkah.

“Kak Anas kalau ada apa-apa cerita dong, sama aku. Masak cuma aku aja yang cerita melulu.”

Keaadan hening beberapa saat. Tiba-ti ba Tika kaget. Ada sesuatu yang membuat lehernya terasa geli. Dan…

“Sebagai permintaan maafku…”

Tika menyentuh sebuah kalung manik yang dipasangkan Anas barusan.

“Wow! Bagus banget, Kak! Aku suka. Sukaaaaa…..banget!” Teriak Tika histeris. Wajahnya yang polos, bersih dari kebohongan. Matanya berbinar indah, membuktikan bahwa ia benar-benar senang.

“Kalau begitu, aku nggak jadi minta belikan kalung lagi sama ibu. Kalung dari Kak Anas ini jauh lebih berharga dari semua emas di seluruh toko perhiasan di dunia. Hahaha…..”

Tika melompat-lompat dan menari-nari di depan Anas. Dan Anas hanya tersenyum tipis…. *


Jember, 10 Desember 2008




DALAM SIMPUH KUBERPASRAH

Ya Allah…telah kuserahkan seluruh nafasku pada-Mu

Tapi mengapa…di setiap embusannya selalu hadir wajahnya…

“Mbak, Mbak Fika pengen jodoh kayak apa?” Tiba-tiba saja Yanti menodongku dengan pertanyaan itu.

“Nggak tau, Yan.” Jawabku singkat.

“Kok nggak tau? Misalnya ada laki-laki yang jueeleeek buanget. Tapi dia suka sama Mbak Fika. Terus gimana, Mbak?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Yanti.

“Yanti. Seandainya sahabat Bilal saat ini ada, aku yakin dia akan menjadi rebutan gadis-gadis muslimah sejati.”

“Wow! Enak banget ya, jadi Mbak Fika!” Yanti sampai beteriak.

Ah, Yanti. Kamu tau, nggak, aku selalu menginginkan Rendy menjadi jodohku. Menjadi laki-laki pertama dan terakhir dalam hidupku. Hidupku di dunia dan di akhirat.

“Terus, misalnya ada laki-laki yang sudah tua banget, umurnya kira-kira sudah tujuh puluhan, dia suka sama Mbak Fika. Kalau yang ini gimana, Mbak?”

Aku bukan hanya tersenyum, tapi tertawa mendengar pertanyaan Yanti berikutnya.

“Toh di surga nggak ada orang tua, kan, Yan?”

“Wow! Seneng banget, ya, jadi Mbak Fika!” Teriaknya lagi.

Seneng apanya. Aku sengsara memikirkan Rendy selama ini.

Dan percakapan itu berhenti begitu bel memanggil-manggil kami.

***

Berpapasan dengan Rendy adalah hal yang tak pernah kuinginkan. Aroma parfumnya yang kuhirup tanpa sengaja dengan penuh perasaan membuatku semakin malu di hadapan Tuhan.

Kulangkahkan kakiku panjang-panjang berharap cepat menjauh darinya.

“Fika!”

Tapi suara lembut itu membuat langkahku terhenti seketika. Dengan memejamkan mata dan mengatur nafas aku menoleh perlahan. Dan pemilik senyum indah berhias tahi lalat di dagu itu semakin mendekat padaku.

“Kamu ada kuliah?”

“Iya.”

“Kamu sekelas dengan Hendra, Kan?”

“Iya.”

“Aku titip buku, ya, buat dia.”

“Iya.”

Rendy mengambil buku setebal dua centi dari tasnya dan menyerahkannya padaku.

Tak sengaja tangannya menyentuh tanganku. Hanya sedikit. Tipis. Dan sangat singkat. Tapi mampu membuat sekujur tubuhku bagai disengat aliran lisrik beribu-ribu watt. Darahku mendidih naik ke atas kepala.

Aku beristighfar dalam hati.

“Makasih, ya.” Katanya dan berlalu.

Aku segera memasuki Aula sambil mendekap buku pemberiannya di dadaku, berusaha menenangkan goncangan dahsyat di hatiku.

***

“Dek, gimana kabarnya?”

“Setengah-setengah.”

Aku menerima telepon dari Mas Rahman. Kebiasaan nelpon malam-malam. Jam 00.00 adalah waktu istirahatku setelah empat jam tadi menekuri buku-buku kuliahku.

“Setengah-setengah gimana?”

“Setengah gila, setengah waras.” Candaku.

Terdengar tawa dari seberang sana.

“Dek…”

“Iya, Mas?”

“Adek…”

“Iya, Mas, apa? Kebelet mau pipis?”

Tawa Mas Rahman semakin kencang membuat telingaku berdenyut-denyut.

“Dek, Mas mau ke Jember.”

“Ngapain?”

“Kok ngapain? Ya seperti biasa, Dek…”

“Maksudnya?”

“Mas mau ngelamar Adek.”

Kini bukan cuma telingaku yang berdenyut-denyut. Tapi kepalaku rasanya seperti ditusuk-tusuk.

Empat kali Mas Rahman mendatangiku dengan menanyakan hal yang sama: apakah aku mau dipinangnya. Aku hanya tertawa menanggapinya dengan gurauan.

“Ya sudah kalau memang Mas mau ngelamar aku. Bawa oleh-oleh yang banyak. Bawa kue, buah-buahan, sayuran, sapi, kambing, ayam, bebek plus telurnya dan bawa unta juga sekalian.”

Tawanya kembali meledak.

“Adek masih nganggap Mas guyon? Ntar Mas bawa cinta buat Adek…”

Cape deh, Mas.”

Dan aku mengalihkan pembicaraan. Mas Rahman mengerti dan tidak mengungkit hal itu lagi.

Pembicaraan lewat udara itu mengalir hampir dua jam. Telingaku terasa panas saat aku menutup telepon darinya. Dan aku benar-benar baru bisa terlelap saat jam dari rumah sebelah berdenting dua kali.

***

Aku meraba-raba mencari HP-ku yang menjerit perlahan. Masih dengan mengantuk kubuka mataku. Jam tiga dini hari.

1 missed call.

Kubuka. Nomor yang tertera membuatku tersenyum lebar. Aku memang menantinya. Nomor yang selalu membuat HP-ku berdendang riang di sela-sela tahajjudku.

Dengan kepala yang masih terasa berat, aku bangkit dari tempat tidurku. Keluar dari kamar menuruni tangga menuju kamar mandi.

Dinginnya air wudlu’ yang menerpa wajahku terasa sejuk di hatiku.

Dalam balutan mukenah aku terhimpit. Dalam putaran tasbih aku terjepit. Di atas hamparan sajadah aku menjerit.

Robbi…

Ampuni hamba

Bukan maksud hati membagi cinta

Tapi perasaan ini begitu nyata

Getarannya menusuk dada

Dentumannya menghantam jiwa

Deburannya menghempas raga

Hingga malupun tak terkata

Di hadapan-Mu kian tak berharga

Robbi…

Jika yang nista inilah tulang rusuknya

Peliharakan dia untuk hamba…

Aku menangis tersedu. Sejak kapan aku menyisipkan kata-kata itu dalam do’aku?

Selama ini dalam setiap tengadahku, aku hanya mengharap ridlo-Nya. Kuminta Dia, Yang Maha Segala-galanya, meridlo’i setiap helaan nafasku, setiap denyut nadiku, setiap detak jantungku, setiap debar dadaku, setiap depa langkahku, dan setiap jalan dalam hidupku.

Berselimut malam, berteman nyanyian jangkrik dan diiringi dendang katak, aku larut dalam isakku.

Dengan tasbih di tangan, mulutku tak henti-henti beristghfar, bersholawat, menunggu subuh merebut malam.

***

Kampus sudah ramai. Hari ini aku kuliah agak siang. Mataku menyisir setiap pojok fakultas mengharap ada teman yang sekelas.

Tapi, Ya Allah…mataku terhenti pada sesosok manusia itu. Manusia yang membuatku terasa begitu hina di hadapan-Mu.

Aku berjalan terus. Walau aku sama sekali tak ingin bertemu dengannya, tapi aku sudah terlanjur melewati koridor ini. Tak mungkin aku berbalik lagi.

“Hai!” Manusia itu menyapaku.

“Hei!” Aku membalas singkat.

Dengan tergesa aku melewatinya seakan ada yang ingin kuburu. Aku tak ingin berlama-lama memandang sosok jangkung terbungkus jaket hitam yang telah mencabik-cabik imanku itu.

Dan sungguh! Suaranya yang setiap kali menyapaku, yang terdengar begitu renyah di telingaku, membuat aku tak sanggup menebang rindu.

Satu kakiku sudah melewati pintu Aula ketika suara renyah itu memanggilku.

Allah…bagaimana caranya aku menghindar? Aku tak tahan memandang wajahnya yang teduh. Hari ini aku benar-benar ingin pingsan.

“Ya, Ndy, ada apa?” Tanyaku ketika tubuh tegap itu berdiri di hadapanku yang terbujur kaku. Semoga dia tak menyadari perubahan di wajahku.

“Katanya mau pinjam buku?”

“Oh, nggak usah. Aku bisa pinjam di perpus.” Tolakku cepat.

Udahlah, Ndy…berhentilah berbuat baik padaku. Aku takut tak mampu menahan perasaan ini.

“Tapi aku bawa bukunya.”

“Nggak usah, Ndy. Aku sudah pinjam, kok.”

Jangan, Ndy…jangan kamu serahkan buku itu padaku. Aku tak ingin gila dengan selalu mendekap-dekap bukumu.

“Ya udah, aku pinjemin sama temanmu yang lain. Mereka juga bilang mau pinjam.”

“Iya, sebaiknya dipinjemin sama yang lain aja.”

Aku lega, Dan dia berlalu.

Ah, Rendy. Ternyata kamu bukan cuma baik padaku. Kamu tebarkan kebaikanmu pada semua orang. Dan aku semakin mengagu

***

Seperti biasa aku selalu melewati Ruang Baca Fakultas Sastra setiap kali menuju ruang kuliah. Dan ketika aku masih melewati samping gedung itu, aku wajib menghentikan langkahku ketika mendengar percakapan itu.

“Kalau Fika, gimana?”

Itu suara khas Arya seniorku.

“Kalau Fika…”

Deg! Jantungku berdegup mendengar suara yang sangat kukenal. Aku menunggu. Dengan penuh debar.

“Kalau Fika biasa-biasa aja, sama seperti mahasiswi lainnya.”

“Kok gitu?”

“Udah, deh Ar. Aku masih belum berfikir ke hal itu. Toh, kalaupun aku sempat berfikir, aku nggak mungkin memasukkan Fika dalam daftar cewek idamanku. Aku pengen seorang gadis yang punya idealisme…”

Aku bagai diterjang badai di lautan samudera. Terhempas gelombang dan terlempar ke tepian pantai. Disapu beku yang menderu.

Kurasakan sakit di ulu hatiku. Dan tentu saja sakitnya tak seperti saat kakiku tertusuk duri di sawah ketika aku mencuri tebu, juga tak seperti saat aku terjatuh dari pohon ketika mencuri jambu tetangga di masa kecilku.

Perih. Aku merintih. Aku teringat Mas Rahman. Mungkin sakit seperti inilah yang dia rasakan ketika berkali-kali kutolak cintanya.

Aku mundur beberapa langkah dan berjalan melewati jalan lain. Aku menyusuri teras di depan Ruang Pendidikan berharap tak menemukan dirinya.

Tapi, Robbi…aku memekik dalam hati. Sosok itu berjalan menuju ke mari. Aku tak sanggup lagi berpapasan dengannya.

Aku masuk ke toilet. Tak peduli dengan tulisan “Dosen/Karyawan”. Air mataku tumpah sederas air keran yang kuhidupkan.

Aku datang dengan ceceran peluh bapak dan tetesan do’a ibu, bukan untuk laki-laki. Tapi demi ilmu yang hakiki.

Tapi kata-kata itu tak pantas untukku. Aku telah menangis. Menangis karena seorang Rendy. Seseorang yang tak pernah punya hati untukku.

Robbi…tolonglah aku. Bebaskan aku dari keterpurukan yang membelengguku.

***

Kupandangi anak-anak yang dengan lahap menikmati kue yang kubawa. Sambil memuju-muji rasanya, mereka terus mengunyah dan tak henti-hentinya menggodaku.

Aku hanya mampu tersenyum. Pahit. Taukah kalian betapa hancurnya diriku saat ini? Dan adakah kalian tau batinku yang terkoyak di hari pertunanganku kemarin?

Kini aku tak tau bagaimana caranya memungut kepingan-kepingan hatiku yang berceceran.

***

Aku menaiki tangga satu-persatu dengan lesu. Masuk ke kamar, melempar ranselku, dan membanting tubuhku ke atas kasur.

Aku lelah, Ya Allah…aku letih dengan semua ini…

Kupandangi lukisan di dinding. Lukisan seseorang yang tatapannya telah menghipnotisku. Seseorang yang senyumannya menjalar di setiap pembuluh darahku. Seseorang yang namanya selalu bermain-main dalam pikiranku. Seseorang yang setiap geraknya merambat dalam denyut nadiku. Seseorang yang sosoknya menjadi bayang-bayang di setiap detik nafasku.

Aku bangkit perlahan. Kuraih lukisan itu. Lukisan yang kubuat dengan sepenuh cinta di setiap goresannya. Lukisan yang…

Dua bulir bening jatuh. Aku tak tahan. Kurobek-robek lukisan itu hingga menjadi serpihan-serpihan tak berdaya dan menaburnya tak karuan membuat kamarku kotor oleh kertas tak berdosa itu.

Rendy. Aku tau, kamu tak pernah punya hasrat untukku. Aku sudah mengiranya. Aku sudah menyangkanya. Aku sudah menebaknya. Tapi ini bukan kehendakku. Cinta itu datang tanpa kuundang. Menghujam setiap persendianku. Dan puisi-puisi elokmu telah menghujaniku dengan cinta. Mewarnai hatiku dengan segala rasa.

Aku jatuh terduduk. Kupandangi cincin yang melingkar di jari manisku. Kubuka dengan kasar dan melemparnya tanpa perasaan.

Cincin itu terantuk tembok dan menggelinding kemudian berhenti di antara kertas-kertas yang berserakan.

Aku masih ingat perkataan lembut Mas Rahman waktu itu.

“Dek, Mas bermaksud baik sama Adek. Adek nggak mau kan, kalau kita pacaran? Mas juga nggak pernah punya keinginan untuk itu. Mas pengen kita ada ikatan. Dan ikatan itu bisa disambung dengan pertunangan. Mas janji nggak akan ganggu Adek sampai kita benar-benar sah menjadi suami istri. Adek mau, kan…? Kalau Adek memang belum bisa mencintai Mas, Mas akan menunggu…”

Dan entah kekuatan dari mana yang membuat kepalaku mengangguk begitu saja.

Kuusap air mataku. Perlahan kupungut cincin itu dan kupasangkan kembali di jari manisku.

Andai cincin ini adalah persembahan Rendy untukku, betapa bahagianya aku.

Aku mencintainya, Ya Allah…aku sangat mencintainya…jeritku.

Aku memeluk kedua lututku, menenggelamkan kepalaku, dan kembali aku terisak. Kugigit bibirku kuat-kuat hingga kurasakan asin di lidahku.

Sudahlah, Ka…mungkin Mas Rahman adalah jodoh yang terbaik, yang telah disediakan Allah untukmu. *

KETIKA MUSIBAH ITU DATANG

“Ibu…kak Fadly nakal!!! Roti Cicha diambil. Hua…hua…”

Aku tertawa-tawa melihat adikku yang baru berumur empat tahun menangis.

“Fadly! Ayo kembalikan rotinya! Kamu ini, doyan sekali menggoda adikmu.”

Ibu yang tadinya di dapur tiba-tiba saja menarik kuping kiriku.

“Wadooow!!! Iya, iya, Bu. Fadly kembalikan.”

Aku menghampiri adikku yang lucu, yang masih menangis sesenggukan itu dan menyerahkan roti yang sudah kugigit. Tapi adikku yang manis itu malah mendorong-dorong tanganku.

“Gak mau! Cicha minta yang utuh! Hua…hua…”

Tiba-tiba Kak Ria tururn dari tangga dengan jilbab kuningnya. Ah, Kak Ria memang cantik. Aku sering menarik hidungnya yang mancung.

“Udah, sayang. Jangan nangis, ya…nanti gak cantik lagi…” Kak Ria menggendong Cicha.

“Nanti pulang dari kampus Kakak olehin roti yang lebih enak dan lebih besar dari ini. Sekarang jangan nangis lagi, ya…”

“Tapi Kak Fadly harus dihukum!!” Suara Cicha masih sesenggukan.

Aku cekikikan sambil menghabiskan sisa roti tadi.

Tapi…

“Wadoooww!!!”

Tubuhku oleng ketika Kak Ria menjewer kuping kiriku, lagi. Aku menggosok-gosok kupingku yang terasa sakit. Berat sebelah rasanya.

Kak Ria melotot marah padaku. Cicha tertawa senang melihat musuh bebuyutannya meringis-ringis kesakitan.

Ibu hanya tersenyum sambil menyiapkan sarapan. Ayah yang gagah dan berwibawa datang sambil memperbaiki dasinya. Sedang aku hanya cengar-cengir cengengesan.

Itulah adegan rutin setiap pagi. Setiap matahari pagi mulai memeluk kami dengan kehangatannya.

Tapi entah kenapa ketika matahari baru saja menyunggingkan senyumnya, tiba-tiba awan hitam dan berugumpal datang menjahatinya. Matahari urung membuka tawa dan hujanpun yang dengan lebatnya datang bersenjatakan petir dan guntur menghujam sang matahari.

Satu babak indah baru kami lakoni. Kini datang babak baru yang bertolak belakang.

Kami sekeluarga panik karena dalam hitungan menit air merambat masuk ke rumah kami.

Ibu menjerit-jerit ketakutan. Kak Ria mendekap Cicha semakin erat dalam pelukannya. Aku sendiri kebingungan. Dan ayah berusaha menenangkan kami.

“Ayo kita semua keluar..!!”

Kami sekelurga keluar dari rumah untuk mencari keselamatan. Dan kami benar-benar lupa bahwa rumah kami berlantai dua.

Di luar, adegan haru semakin membiru. Orang-orang berduyun-duyun keluar dari rumah masing-masing mencari tempat yang aman.

Hujan semakin deras. Kilatan-kilatan petir semakin mengganas. Agin kencang merobohkan apa saja yang dapat dijangkau tanpa ampun. Dan air semakin meninggi. Suara jerit tangis semakin memekakkan.

Ibu sangat panik. Beliau berusaha menggapai Cicha dalam dekapan Kak Ria.

“Cicha…sini Nak, sama Ibu….”

“Biar Bu! Ria saja yang gendong Cicha…” Kak Ria seakan tak mau melepas Cicha. Sedang Cicha meringkuk lemas tak berdaya.

Tiba-tiba seorang bapak-bapak dengan bungkusan kain di kepalanya tak sengaja menabrak ibu karena tergesa.

Ibu terjatuh.

“Ibu!!!” Spontan aku dan Kak Ria berteriak.

Tak ada yang peduli. Semua warga ketakutan. Semua kebingungan. Semua mencari keselamatan. Termasuk bapak tadi.

Ibu tenggelam dalam air yang sudah mencapai perutku.

“Ibu…” aku berusaha menolong ibu.

Aku menggendong ibu dan berusaha lari dengan kakiku yang terasa semakin berat.

Ayah…ayah…dimana ayah…? Aku berusaha mencari sosoknya.

Kudengar Kak Ria berteriak-teriak. Dimana suaranya? Kenapa aku sudah tak melihatnya? Dan kusadari ternyata kami telah terpisah.

Tak terhitung berapa kali aku membentur benda-benda keras, terbentur manusia-manusia yang berusaha menyelamatkan diri seperti diriku.

Tanganku mulai terasa lemah. Ibu yang pingsan dalam gendonganku terasa semakin berat.

“Fadly! Sini, biar ayah yang menggendong ibu. Kamu cari kakak dan adikmu!”

Tahu-tahu sudah bertemu dengan ayah lagi. Dengan cekatan ayah mengambil ibu dariku.

Aku kembali ke tempat semula. Mencari Cicha dan Kak Ria.

“Cicha…!! Kak Ria…!!!” Aku berteriak-teriak. Tanganku tergores seng-seng yang beserakan entah dari mana saja hanyutnya.

Tubuh-tubuh manusia bergerak cepat. Berlarian dan berhamburan. Tak sedikit pula yang hanyut dan bergelimpangan. Kurasakan bau anyir di sekitarku. Darah dan air mata bercampur dengan air yang menggenang.

Tiba-tiba kepalaku membentur benda keras. Entah apa aku tak sempat mengira-ngiranya. Aku terhuyung. Kurasakan lemas di seluruh tubuhku. Dan darah bercecer deras dari pelipisku.

Aku hampir roboh. Tapi dengan sisa-sisa tenagaku, aku berusaha tetap tegar dengan memegang pagar besi yang masih kokoh. Dan baru kusadari aku kembali berada di depan rumah kami.

Kini air telah menenggelamkannya lebih dari separuh tubuhnya yang megah dan menghanyutkan benda-benda bernilai jutaan rupiah.

Ah, tak ada guna harta bila seakan maut datang menyapa.

Dimana Kak Ria? Dimana Cicha?

Aku menyusuri setiap tempat yang mampu kulewati. Menjangkau-jangkau, membalikkan tubuh-tubuh setiap manusia berjilbab yang juga tak kalah paniknya denganku, berharap dia adalah kak Riaku.

Kak Ria…Cicha…dimana kalian…

Kini aku benar-benar lemas. Akupun tumbang. Tubuhku timbul tenggelam dalam air bah. Seakan tak ada lagi daya dalam tubuh kekarku. Keahlianku berenang lenyap sudah.

Aku berusaha menggapai sebilah balok kayu yang kebetulan hanyut di dekatku. Kena. Dan dengan sisa-sisa tenagaku aku memegang erat balok itu. Aku pun terombang-ambing di atasnya.

Aku benar-benar lemah. Aku hanyut bersama jerit tangis yang semakin menggema.

Beberapa menit kemudian hujan benar-benar reda. Air yang semakin tinggi mengalir bergelombang-gelombang. Menyapu apa saja yang ada.

Dengan pandanganku yang semakin redup aku melihat belasan sosok manusia d atas atap sebuah rumah. Dan kulihat di antara manusia-manusia panik itu sebatang tubuh berjilbab memeluk anak kecil sambil menangis.

Itu Kak Ria! Ya, benar itu kak Riaku!

Dengan semangat baru aku berusaha menuju atap rumah itu. Dan dengan susah payah aku menaikinya dan merayap di atasnya.

“Fadly!”

Kudengar namaku dipanggil. Itu suara Kak Ria. Aku tidak salah. Itu benar-benar Kak Ria!

Kak Ria menarik tanganku. Kini aku telah berada di dekatnya, bersama manusia bermandikan darah dan air mata yang tergeletak di antara kami.

“Kak Ria.”

Kami berpelukan erat. Kurasakan tubuh yang terasa dingin dan kaku. Dan tubuh itu adalah tubuh mungil Cicha.

“Kak…”

Aku pandangi mata Kak Ria yang nanar.

Kuperhatikan Cicha di pangkuannya. Matanya terkatup rapat. Bibirnya membiru. Wajahnya begitu pucat. Tak ada lagi keceriaan di sana.

Aku meraba-raba tubuhnya. Kupegang urat nadi di pergelangan tangannya, tak ada lagi denyutan di sana. Kusentuh jantungnya, tak ada lagi detakan di sana. Dan ketika kuraba lubang pernafasannya, tak ada lagi embusan di sana.

“Kak…”

Aku mencari jawaban.

Kembali Kak Ria memelukku semakin erat dengan tangisan yang menyayat. Aggukan lemahnya memastikan jawaban yang kunanti.

Kurasakan kepalaku semakin berat. Semua terasa semakin gelap. Kususuri pemandangan yang tergelar di depan mataku. Sebuah pemandangan menyedihkan, mengharukan, sekaligus memilukan.

Di seberang sana. Sejauh mata memandang, ku saksikan seorang laki-laki setengah baya yang jatuh bangun, terseret arus, terbentur dan tersangkut benda-benda yang entah apa saja aku sudah tak sanggup memikirkannya.

Sesosok tubuh gagah terbungkus lemah dengan menggendong seorang wanita. Ayahkah itu gerangan? Yang sedang menggendong ibu berusaha mencari selamat, mencari anak-anaknya?

Dan aku tak sanggup lagi mengangkat tubuhku. Bahkan aku tak sanggup membuka mulutku.

Aku roboh dan terkapar di samping Kak Ria yang selalu tabah. *

PIRING-PIRING RENA

Seperti baisa, setiap hari Rena harus berkutat dengan piring-piring kotor. Sehabis makan bukannya bersyukur, Rena malah menggerutu.

Seperti pagi itu. Sebelum berangkat ke sekolah Rena harus mencuci setumpuk piring kotor. Mana hari itu ada piket kelas, lagi. Huh! Rena benar-benar kesal.

Sebenarnya, dengan menyelesaikan pekerjaan itu, tidak akan membuat Rena terlambat ke sekolah. Tapi yang membuat ia malas adalah tangannya yang semakin hari semakin kasar saja.

Dengan sedikit tergesa Rena mulai menyabuni piring-piringnya.

Tiba-tiba Andi adiknya yang masih SMP menghampirinya sambil membawa piring bekasnya makan.

“Yang bersih nyucinya, ya Mbok…” godanya pada Rena.

“Cuci sendiri!” Teriak Rena.

Tapi Andi malah lari dan memakai sepatunya.

Huh! Sebel, deh! Sebeeel…!!!

“Sudah, sana berangkat! Biar Mbak yang nyelesain nyucinya.” Mbak Yeni datang sebagai Dewi Penyelamat.

Otomatis Rena langsung mencuci tangannya. Diapun masuk ke kamarnya, memakai jilbab abu-abunya, dan memakai sepatu ketnya.

Tapi begitu Rena sampai di halaman, terdengar tangisan keponakannya yang baru berumur tujuh bulan. Tentu saja Mbak Yeni segera menangani anaknya. Itu berarti pekerjaan Rena mencuci piring sepulang sekolah nanti akan bertambah.

Dengan lipatan-lipatan di keningnya, Rena mengayuh sepedanya.

***

Di sekolah Rena masih kesal. Santi, teman sebangkunya tidak masuk karena sakit. Guru Biologinya juga tidak masuk karena sakit. Kenapa sih, bukan Rena saja yang sakit? Dengan begitu dia kan bisa cuti dari pekerjaan cuci piring.

Hingga jam istirahat kekesalan Rena masih melekat. Malas mau melakukan apa saja.

Rena menoleh ke belakang. Di pojok sana Sarni temannya yang paling pendiam sedang menyendiri seperti biasanya. Rena beranjak dari bangkunya dan menghampiri Sarni.

“Keliatannya dalam beberapa hari ini kamu kesal sekali, Ren?” Sarni menyapanya lebih dulu.

“Iya.” Rena duduk di sebelah Sarni.

“Eh, Ni. Liat tanganmu, ya?”

Rena menyentuh tangan Sarni dan meremas-remasnya. Empuk dan lembut. Tak sama dengan tangannya yang seperti parut.

“Wow! Tangan kamu lembut banget! Kamu nggak pernah cuci piring, ya?” Teriak Rena.

“Jarang.”

“Jarang?”

“Hampir tak pernah.” Sarni berkata lirih.

“Enak banget, ya jadi kamu. Nggak seperti aku. Aku hampir tiap waktu, lho, cuci piring.”

Sarni hanya tersenyum tipis mendengar pengakuan temannya yang terkenal cerewet itu.

“Gimana nggak tiap waktu nyuci piringnya,” Rena mulai lagi ceritanya. “Ibu sama bapak pagi-pagi sekali sudah ke pasar, jagain toko. Kalau Mbak Yeni lebih banyak ngurusin anaknya. Adikku yang dua kan cowok semua, jadi aku deh, yang dapat mandat nyuci piring.”

Sarni tertawa. “Terus yang masak siapa?”

“Yang masak sih, ibu. Masaknya jam tiga habis tahajjud.” Rena menunjuk ketiga jarinya.

Sekali lagi Sarni tertawa melihat mimik wajah Rena yang berwarna-warni karena kesal.

Tiba-tiba bel berbunyi. Mau tak mau Rena beranjak menuju bangkunya.

“Aku ke bangkuku, ya.”

Sarni mengangguk masih dengan senyumnya. Dan begitu Ibu Guru masuk dan memberi tugas matematika, pelajaran yang paling dibenci Rena, lengkaplah segala kekesalan Rena hari itu.

***

Minggu pagi. Rena ada janji sama Sarni akan menjenguk Santi yang belum sembuh. Tapi tumpukan piring kotor di depannya akan membuat Rena terlambat dengan janjinya.

Rena tak segera memulai pekerjaannya. Dia hanya menghela nafas panjang berkali-kali memandang piring-piring kotor yang menanti elusan tangannya.

“Lho, kok cuma diliat?” Mas Hadi, suami Mbak Yeni tiba-tiba sudah di belakangnya.

Rena tak menjawab.

“Kamu mau keluar? Ada janji?”

“Iya, Mas. Rena mau menjenguk Santi bareng Sarni. Tapi sepertinya piring-piring ini akan membuat Rena datang nggak tepat waktu.

Mas Hadi tertawa melihat wajah Rena yang keriput karena cemberut.

“Ya sudah, sana berangkat sekarang! Nanti Sarni kelamaan nunggunya.”

Tentu saja mendung di wajah Rena berubah cerah mendengar ucapan kakak iparnya yang hitam manis itu.

“Jadi Mas Hadi yang mau nyuci piringnya?”

Mas Hadi mengangguk.

“Mas Hadi nggak ada pekerjaan?”

Mas Hadi menggeleng.

“Mas Hadi nggak ada acara keluar?” Rena masih cerewet.

“Sudah, sana berangkat!” Mas Hadi jadi gemas dengan kecerewetan adik ipar di depannya.

Rena cengar-cengir. “Makasih ya, Mas. Lagian udah lama lho, Mas Hadi nggak bantuin Rena. Habis Mas Hadi sibuk terus, sih! Sekarang selamat bekerja. Rena berangkat ya, Mas. Assalamu’laikum…” Rena masih berceloteh.

Mas Hadi geleng-geleng kepala. Sedang Mbak Yeni yang sedang menggendong anaknya, melotot ke arah Rena. Tapi Rena tak peduli. Dia pun langsung kabur.

***

Rena hampir tak percaya begitu sampai di depan sebuah rumah mungil berdinding bambu. Apa benar ini rumah Sarni? Jangan-jangan ibu gendut tadi salah menunjukkan saat Rena bertanya.

Rena memarkir sepeda mininya. Dengan ragu-ragu Rena mendekati pintu rumah yang terbuka lebar itu.

“Assalamu’alaikum.” Rena mencoba bersuara.

“Wa’alaikum salam.” Jawaban dari dalam.

Suara Sarni. Jadi benar ini rumah Sarni temannya yang jago matematika itu?

“Hei, Ren. Masuk dulu dulu, yuk!”

Sarni muncul diikuti dua adiknya yang berumur sekitar lima tahun. Hei, ternyata wajah mereka sama persis! Jadi Sarni punya adik kembar yang cantik-cantik?

“Adikmu Ni? Kembar ya?” Rena memasuki ruang sempit berstatus serambi tanpa kursi.

“Iya, mereka kembar. Siti Rohmah dan Siti Rohimah namanya. Ren, duduk dulu. Aku mau ke Mak Tijah dulu, mau nitipin adik-adikku.”

Rena mengangguk dan duduk di balai-balai terbuat dari bambu yang menjadi satu-satunya barang di ruang tamu itu. Sarni keluar diikuti kedua adik kembarnya yang lucu-lucu.

Lima menit kemudian Sarni muncul lagi.

“Gimana? Berangkat sekarang?”

Rena mengangguk. Mereka pun keluar dan Sarni menutup pintu tanpa menguncinya.

Rena menaiki sepedanya dan Sarni duduk di boncengan. Dengan santai Rena mulai mengayuh.

“Ni, orang tuamu mana?” Tanya Rena penasaran.

“Ke sawah. Emak sama bapakku buruh, Ren.”

“Ooo…” Rena seperti orang bego’.

“Emang sepagi ini pekerjaan rumahmu sudah beres, Ni? Cuci piring, misalnya. Soalnya nih, jam segini biasanya aku masih bergulat dengan piring-piring kotor dan alat-alat dapur kotor lainnya,” cerita Rena bernada keluhan.

“Rena…Rena…” Sarni tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Mendengar tawa Sarni, Rena semakin seperti orang bego’ saja.

“Ren…” Sarni menghela nafas . “Mungkin aku adalah manusia yang paling jarang mencuci piring. Emak jarang masak, karena memang nggak ada yang mau dimasak. Kalau nggak ada masakan, terus bekas makanan yang mana yang mau dicuci?” Seperti biasa, sarni selalu mengakhiri ceritanya dengan senyuman.

Rena diam. Dan keadaan pun hening. Rena terus mengayuh sepedanya.

Rena berpikir. Betapa beruntungnya ia selama ini. Begitu ia selesai salat subuh dan hendak mandi dengan melewati ruang makan, kepulan asap dengan aroma sedap selalu tertangkap oleh hidungnya dari meja makan. Bermacam-macam menu yang dimasak ibunya setiap hari, yang membuat ia selalu menggerutu karena harus membersihkan tempat bekasnya.

Ada piring kotor, berarti ada makanan yang bisa dinikmati. Semakin banyak piring yang kotor, itu artinya semakin beraneka hidangan yang telah ia rasai.

Berbeda dengan Sarni. Tempat bekas makanan yang mana yang harus ia cuci kalau tak ada yang dapat dimasak?

Sungguh! Betapa Rena telah menyesal dengan kekesalannya selama ini.

Ya Allah…detik itu juga Rena baru benar-benar bisa merasa bersyukur dengan apa yang telah ia peroleh selama ini.

***

Hari itu rumah Rena kelihatan sibuk. Adiknya yang masih SD akan dikhitan.

Begitu Rena sampai di pintu, hidungnya sampai bingung harus menghirup aroma masakan yang mana yang paling enak. Ibu dan beberapa sanak famili sibuk di dapur.

Rena pun membuka sepatunya, melempar tas dengan sekenanya dan langsung menuju tempat cuci piring masih dengan seragam batiknya.

“Rena bagian cuci piring aja, ya. Rena kan nggak bisa masak, “ lantangnya.

Dengan semangat 2008 Rena memulai pekerjaannya.

“Yang bersih nyucinya ya, Mbok…” seperti biasa Andi menggodanya.

“Beres, Den Andi! Kalau Cuma servis piring kotor, serahkan pada ahlinya!”

Teriak Rena sambil menepuk dadanya, yang membuat Mbak Yeni wajib untuk menoleh ke arahnya meskipun sibuk dengan bayinya.

Mas Hadi tersenyum melihat adik iparnya yang manja itu. Dan Rena hanya cengar-cengir memamerkan giginya yang rapi sambil meneruskan pekerjaan yang sudah mulai dicintainya. *

DIAN

“Apa sih, maunya anak ini?” Wisnu mengumpat setelah membaca SMS di HP-nya.

“Dari Dian lagi?” Anto yang sedang mengetik bertanya acuh tak acuh.

“Iya. Aku kesal banget sama wong tuwo yang satu ini!”

“Kali aja dia suka sama kamu.”

“Itulah, To, yang buat aku kesal sama dia.”

Anto hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Dan yang disebut “Wong Tuwo” sedang berbaring di kamarnya yang gelap.

“Mas Wisnu kok nggak balas SMS aku, ya?” Katanya sambil memegang HP-nya. “Mungkin Mas Wisnu nggak punya pulsa. Ya udahlah…”

“Wong Tuwo” itupun terlelap sambil mendekap bola bantalnya berharap bisa bertemu Zidane dalam mimpinya.

***

“Astaghfirullah Dian…” Mas Rahman geleng-geleng kepala membaca sent items-nya Dian di HP-nya.

Dian ngakak. “Memangnya kenapa, Mas?”

“Bukannya apa-apa, sih. Tapi gimana kalau teman kamu nganggapnya lain saat membaca SMS kamu yang menyeramkan ini.”

Menyeramkan? Dian tambah ngakak.

“Ah, nggak kok, Mas. Selama ini belum ada tuh, teman Dian yang kayak gitu.” Dian menjawab dengan santai. Tanpa beban.

“Tapi belum, kan?”

“Iya, belum. Dan mudah-mudahan nggak akan pernah ada.”

“Sudah berapa kali Mas bilang, hilangin kebiasaan buruk kamu yang satu ini! Kamu nggak pernah bisa berubah.”

“Dian sudah berusaha berubah Mas, tapi nggak bisa. Kata temen Dian, Dian bisa berubah kalau ada sesuatu yang membuat Dian trauma dengan kebiasaan Dian ini.”

“Ah, sudahlah. Capek ngomong sama kamu. Ruwet!”

Dian hanya angkat bahu.

“Mas pulang dulu, ya.”

“Iya, Mas, pulang aja.”

Mas Rahman melotot.

Hehehe. Dian cengengesan.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Dan sosok terbaik yang pernah Dian temui itu melesat cepat dengan bebeknya.

***

“Kamu tunggu Mas Wisnu saja, Dian.” Ini Linda yang ngomong.

“Kenapa sih, Lin?! Dikit-dikit Mas Wisnu, dikit-dikit Mas Wisnu!” Sepertinya Dian sudah hilang kesabaran.

“Dikira aku nggak tau tentang SMS kamu ke Mas Wisnu? Wong Mas Wisnu cerita sama aku. Mas Wisnu itu asyik kalau diajak guyon. Kamunya saja yang selalu serius.”

Tentu saja Dian terkejut mendengarnya. Dian menganga membuka mulut selebar yang ia mampu, dan mendelik, melotot sampai biji matanya mau meloncat. Maksudnya?

Untuk beberapa saat Dian terbahak.

“Linda, Linda. Bararti yang serius itu Mas Wisnu, bukan aku. Padahal aku nggak ada maksud apa-apa dengan SMS-ku. Jangankan sama Mas Wisnu, sak tukang becak, sak sopir turk, aku SMS-nya memang kayak gitu.”

Linda diam. Semua diam.

Dan Dian meneruskan mengikat tali sepatu ketsnya. Ruwet. Sudah berapa kali sobit-sobitnya bilang, jangan beli sepatu kets biar tidak selalu tertinggal.

Tapi Dian tidak peduli dan tidak pernah mengindahkan saran sobit-sobitnya. Toh Dian selalu bisa cepat mengejar meskipun dia sudah tertinggal jauh oleh sobit-sobitnya.

Setelah Dian selasai, mereka keluar dari lesehan dan berpisah. Pulang ke kosan masing-masing.

Dian pun mengayuh sepedanya. Menyusuri Jalan Jawa yang tak pernah lengang.

Di sepanjang perjalanan Dian masih memikirkan kata-kata Linda.

Hm…pantas saja sikap Wisnu jadi berubah. Dian ingat betul ketika Dian bertanya seputar mata kuliah ke Wisnu. Wisnu menjawab sambil menyentak-nyentaknya. Pun ketika Dian menelponnya dan bertanya tentang pembayaran SPP. Telinga Dian sampai nguing-nguing mendengar sentakan-sentakan Wisnu yang merambat melalui udara.

Dian memang nakal. Dia hanya cekakak-cekikik menghadapi sikap Wisnu. Dian membayangkan seniornya itu berubah menjadi monster jahat dengan taring tajam, dua tanduk di kepala, dan dengan ekor yang panjang pula.

Dian jadi ingat perkataan Mas Rahman sebulan yang lalu. Kekhawatiran Mas Rahman jadi kenyataan. Tapi apakah Dia akan trauma dan memblokir kebiasaannya yang satu itu?

Mas Wisnu…Mas Wisnu…

BRAKK!!! Dian jatuh. Dadanya langsung menghantam aspal yang keras.

Ya Allah…hamba sudah siap…

Dian merasa seakan-akan bus, tanki, tronton, trailer, akan datang beruntun menggilas tubuhnya sampai gepeng. Memangnya kartun?

Tapi kebetulan lalu lintas sedang sepi. Dian tolah-toleh. Dan bapak-bapak tukang becak membantunya berdiri dan memapahnya ke pinggir.

Mas Wisnu…Dian diserempet motor…

***

Kuliah sudah selesai. Tapi Dian masih belum ingin pulang. Dengan sedikit tertatih akibat kecelakaan beberapa hari yang lalu, Dian berjalan menuju sekretariat el pe em es. Itu lho, Lembaga Pers Mahasiswa Sastra Universitas Jember.

Di sana ada Mas Anto, Mas Bagus, Mas Deni dan mas-mas yang lainnya. Oh ya, ada Mas Wisnu juga.

Huh, biarin aja! Toh Dian nggak ada perasaan apa-apa sama mas yang satu itu. Biasa aja, lagi.

Dian duduk di dekat Mas Bagus. Dan pecakapan ngalor-ngidul pun terjadi. Hingga mas-mas itu pergi satu persatu.

Kini tinggal Wisnu dan Dian.

Dan ketahuilah! Wajah Wisnu yang tampan tiba-tiba mulai berubah. Pertama, kulitnya yang langsat bersisik. Kedua, matanya yang indah jadi membesar dan merah disusul cula di jidatnya. Kemudian taringnya keluar. Dan rambut ikalnya jadi kribo, hidung bangirnya pun bengkak seperti badut. Telinganya memanjang di susul ekor yang keluar. Kuku-kukunya pun jadi runcing.

Makhluk apaan tuh!

Sungguh! Dian takut, Mas Wisnu…

“Kamu kok nggak ke de ka ka?” Suara Wisnu yang pelan terdengar menggelegar dan parau di telinga Dian.

Yang dimaksud de ka ka itu, Dewan Kesenian Kampus yang bersebelahan dengan el pe em es. Dian memang masuk organisasi itu.

“Nggak.”

“Kenapa nggak? Seharusnya kamu ngumpul-ngumpul sama mereka!” Dan tidak berada di dekatku.

“Aku memang lebih suka di sini ketimbang di sana.” Udah deh, Mas. Nggak usah ngusir Dian. Dian nggak bakalan nelen Mas Wisnu. Dian bukan manusia kanibal, Mas…

Sana! Seharusnya kamu ke sana ngumpul sama mereka.” Karena aku kesal sama kamu.

Dian diam saja.

Aduh, percaya deh, Mas. Dian nggak pernah menginginkan Mas Wisnu. Kayak nggak punya harga diri aja. Emang minta di hargain berapa, Nooon..? Hehehe.

“Kata Rosulullah gimana? Kita kan harus menyambung tali silaturrahmi? Lebih baik kamu sering-sering bersilaturrahmi ke de ka ka.” Dan lebih baik lagi, kamu wong tuwo, segera enyah dari hadapanku.

Dian ingin tertawa melihat kekesalan yang menggantung di wajah Wisnu.

Wisnu memang tampan. Dia juga cerdas, pintar, pandai, baik, lembut luar dalam (katanya sih, tapi sebelum berubah jadi monster, tentunya), sederhana, tidak neko-neko, aktif di organisasi dan banyak yang nge-fans. Tapi itu semua tidak menjamin Dian untuk berpaling dari Mas Rahman, kan?

Dasar, Dian memang nakal. Dia pun tidak beranjak sampai Wisnu yang pergi lebih dulu. Dan Dian tertawa dalam hati.

***

“Mas, kok sepi?” Dian bertanya pada Bagus begitu sampai di rayonnya PMII.

Oh, ya. Beberapa mahasiswa yang masuk organisasi PMII memang berdomisili di rayon itu. Sebagian besar mereka adalah pengurus.

“Sahabat-sahabat banyak yang pulang. Eh, Wisnu sakit, lho!”

“Masa’?”

“Iya, sekarang ada di rumah sakit.”

“Rumah sakit mana?”

“Dekate.”

“Ya udah, aku langsung ke sana aja, ya Mas.”

“Iya, langsung ke sana aja. Ingat, ruang flamboyan.”

“Iya Mas, makasih. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Dan Dian mengayuh sepedanya lebih kencang. Dian lupa kalau orang yang akan dijenguknya adalah musuh besarnya.

Ah, tidak! Bagaimanapun sikap Wisnu pada Dian, Dian tak pernah menganggapnya musuh. Karena Dian yakin Wisnu tidak sampai membencinya. Mungkin hanya kesal saja. Kesal yang teramat sangat. Kesal yang tak beralasan.

Sesampainya di rumah sakit Dian memarkir sepedanya dan bertanya pada salah satu petugas di mana ruang flamboyan.

Dian melewati koridor Rumah Sakit Angkatan Darat itu dengan tergesa. Berbelok, mengikuti petunjuk petugas tadi. Dan langkahnya tertahan begitu membaca tulisan “Flamboyan”. Dian urung melangkah lagi. Dian takut kedatangannya malah memperkuat dugaan Wisnu terhadapnya.

Sabda Nabi: “Barang siapa menjenguk orang sakit, maka ia senantiasa berada dalam jalan surga.” Dian teringat sebuah hadis.

Dian berbalik lagi. Melangkah maju, memantapkan hati untuk menjenguk Wisnu. Dian merasa koridor yang dilewatinya adalah jalan menuju surga. Dan bangsal tempat Wisnu dirawat adalah surga yang Dian tuju.

Lalu, sebesar apa kadar cintanya kepada Allah jika melakukan kebaikan hanya untuk sebuah surga?

Ah, sudahlah! Nanti saja konsultasi dengan abah. Yang penting sekarang adalah menjenguk Wisnu.

Dian memasuki bangsal itu dengan mengucap salam. Dilihatnya Wisnu berbaring lemah. Beberapa sahabat dengan wajah kusut sedang menemaninya.

Wisnu mengulurkan tangan hendak bersalaman. Tapi Dian mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

Wong tuwo ini lagi! Siapa sih, yang sudah lancang memberitahunya kalau aku sakit? Gerutu Wisnu dalam hati.

Dian duduk di tepi ranjang sambil terengah-engah seperti mujair kehabisan air. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Tapi, eits! Tunggu dulu! Dian berkeringat bukan karena berhadapan dengan Wisnu. Dian berkeringat karena mengayuh sepedanya seperti dikejar-kejar setan.

Melihat Mas Wisnu begini, sering sakit dan sering masuk rumah sakit, bahkan pernah dioperasi segala, ingin rasanya Dian menjadi perawat pribadinya seumur hidup. Ups!

Maksudnya?

Nggak, kok, cuma becanda. Hahaha. Ssst…jangan sampai Mas Wisnu tau isi hati Dian. Ntar dokter sama perawatnya pada lari ketakutan gara-gara pasiennya berubah jadi monster yang mengerikan.

Dan Dian sadari Wisnu sama sekali tidak suka dengan besukannya. Dian tak betah berlama-lama. Dian pun pamit pulang.

Dalam hati Dian berdo’a agar Wisnu cepat sembuh. Sehat, segar bugar lahir batin. Kuat jiwa dan raga. Tapi sungguh, kawan! Dian tak pernah berdo’a agar Wisnu menyukainya lahir batin. Mengasihinya jiwa dan raga. Tidak pernah……

***

Awalnya Dian tak peduli dengan sikap Wisnu. Tak peduli dengan gonjlokan sobit-sobitnya yang selalu menjodoh-jodohkan dirinya dengan Wisnu. Tapi lama-kelamaan Dian tak tahan. Dian tak sanggup melihat tatapan-tatapan aneh dan senyum-senyum simpul senior-seniornya pada dirinya.

Dian tak mau dan tak ingin di sangka yang bukan-bukan. Entah apakah memang mereka yang ber-negative thinking pada Dian, atau itu hanya perasaannya saja, Dian tak tahu pasti. Karena Dian tak pernah tahu isi hati mereka. Yang Dian tahu, dia masih punya rasa malu.

Dian memelototi tulisan-tulisan arab di kertas lusuh berwarna kecoklatan karena dimakan usia. Dia membaca tulisan latin di paling atas kertas.

Dibaca 1000x dengan khusuk dan bersungguh-sungguh selama empat puluh satu hari berturut-turut. Setelah itu sebut nama orang yang bersangkutan. Dibaca di tempat gelap dan hanya diterangi sebuah lilin. Dijamin orang itu akan mengejar-ngejar anda.

Dian tersenyum sinis. Lalu mengambil korek. Tapi bukan untuk menghidupkan lilin. Dian malah membakar kertas yang dipegangnya. Karena Dian tak sejahat itu.

Membuat orang tergila-gila padanya dengan cara apapun, adalah hal yang sangat mustahil dilakukannya. Tak pernah ada dalam kamus hidupnya yang begitu-begituan.

Dia pun memasukkan sebuah foto di dompetnya dan bersiap-siap ke kampus.

Di kelas, Inuk sang ketua kelas sedang membagi-bagikan foto kopian materi.

“Di, punya uang ribuan?” Linda bertanya.

Ini memang yang ditunggu-tunggu Dian.

“Ambil di dompet di dalam tas.”

Dan benar saja dugaan Dian. Linda kaget bukan kepalang begitu melihat foto yang terselip di dompet itu.

“Ya Allah, Di…ini foto kamu?”

Dian mengangguk.

“Ini Mas Rahman yang sering kamu ceritakan itu?”

Dian mengangguk lagi.

“Ya Allah, Di…kamu berani banget sampai foto kayak gini?!”

Dian hanya diam. Tenang. Santai. Tanpa beban.

Dan foto itupun dipelototi oleh keempat sobitnya dengan tak percaya.

Bagaimana mereka tidak kaget. Dalam foto setengah badan itu, Dian dipeluk Mas Rahman erat seakan tak ingin dilepas. Dan yang membuat mereka shok, baju yang dikenakan Dian hanya selembar tank top yang terbuka lebar di bagian dada.

“Aku nggak nyangka…” gumam mereka.

Aku juga tidak pernah menyangka. Kalau kalian, sahabat-sahabatku, tidak mau mempercayaiku kalau aku tak pernah punya perasaan apa-apa terhadap Mas Wisnu.

Dian tak peduli apapun prasangka mereka terhadapnya setelah melihat foto itu. Yang Dian inginkan adalah dia terbebas menjadi tersangka dengan tuduhan telah menyukai Wisnu.

***

Dian bisa sedikit lega. Setelah sobit-sobitnya melihat fotonya bersama Mas Rahman, tuduhan-tuduhan itu mereda. Mereka tak lagi menjodoh-jodohkannya dengan Wisnu.

Tapi Dian belum benar-benar puas. Dia masih trauma dengan kejadian itu. Seumur-umur tak pernah ia punya urusan dengan yang namanya lelaki. Lah, justru karena tak pernah itu, maka Dian harus merasakan bagaimana tersiksanya diklaim menyukai seseorang apalagi senior di kampusnya. Weleh, weleh…

Dian termenung sendiri. Memandangi mahasiswa bermotor, berboncengan mesra dengan pacarnya yang lalu lalang nyaris tanpa sepi. Tiba-tiba ide jelek terbersit di otaknya.

***

“Ayo cepat naik! Katanya Mas mau dikenalin dengan sahabat-sahabatmu seorganisasi? PMII, kan?” Mas Rahman sudah siap di atas bebeknya.

Dian masih ragu.

“Ayo cepat, Dian! Mas keburu nih. Mas masih banyak pekerjaan.”

Dan desakan Mas Rahman memaksa tubuh Dian tiba-tiba saja berada di jok belakang. Tangannya ragu melingkari perut Mas Rahman. Dengan setengah hati Dian merapatkan tubuhnya ke punggung Mas Rahman.

Dian ingat pesan abah.

“Kamu abah beri kebebasan. Tapi ingat! Abah bekali kamu dengan iman. Jangan sampai melanggar syariat Islam. Abah dan ummi tidak akan rido. Dan kalau orang tua tidak rido, Allah pun tidak akan pernah rido.”

Tapi nasehat itu hilang entah ke mana begitu bebek Mas Rahman sudah mendekati rayon. Dian malah semakin merapatkan tubuhnya dan memeperkuat pelukannya.

Di depan Markas Besar PMII Rayon Sastra itu bebek Mas Rahman berhenti disambut tatapan heran seakan tak percaya oleh beberapa pasang mata.

Dian mengajak Mas rahman memasuki ruang multifungsi itu. Berfungsi sebagai tempat diskusi, tempat rapat, tempat ngumpul-ngumpul dan bercanda, tempat nonton TV, tempat belajar dan baca-baca, tempat berjema’ah sholat, tempat untuk makan, tempat untuk tidur dan tempat untuk pacaran… Ups! Ngawur!

Dian memperkenalkan Mas Rahman dengan mas-mas seniornya. Dan Dian merasa sangat puas melihat wajah Wisnu yang berubah-ubah saat itu.

Sepulangnya Dian dan Mas Rahman, Wisnu hanya garuk-garuk kepala sambil mengangkat bahu disambut tawa dan ledekan teman-temannya.

Ah, tenyata aku salah menilai Dian selama ini…

***

“Makasih, Mas.” Hanya itu yang dapat Dian keluarkan dari mulutnya saat Mas Rahman berpamitan pulang.

Begitu sampai di kamar, Dian langsung menutup pintu dengan punggungnya. Bahunya terguncang-guncang karena tangisnya.

“Ya Karim…ampuni hamba…hamba telah melanggar larangan-Mu. Ini bukan kemauan hamba, Ya Allah…hamba terpaksa melakukannya…”

Kalau foto bisa direkayasa. Tapi bagaimana Dian dapat menipu mata mereka? Membuat pandangan mereka seakan-akan melihat Dian sedang bermesraan dengan Mas Rahman?

Dian tidak sedang berakting di depan kamera. Tidak sedang terikat kontrak film Hollywood yang dengan segala kecanggihannya seakan hendak mengalahkan Tuhan.

Dian hanya ingin buktikan bahwa dia tidak pernah memiliki rasa pada Wisnu. Sedikitpun.

Dian menangis meraung-raung menyesali perbuatannya. Dia menggelosotkan tubuhnya ke lantai.

Tak ada lagi kata-kata “Dian yang Tak Pernah Padam” seperti prinsipnya selama ini. Dan Dian bukan lagi “Si Cewek Tangguh” seperti titel yang diberikan teman-temannya untuk dirinya.

Dian tersungkur dan tak sadarkan diri… *




Subuh yang Indah

Aku terbangun. Kuraba HP-ku dan kulihat jam menunjukkan pukul tiga. Tapi aku masih mengantuk. Rapat semalam benar-benar membuatku KO.

Dari Abu Hurairah ra., Rosulullah saw. bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam, pada sepertiga malam terakhir, kemudian Dia berkata, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan; siapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku beri; siapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni’.”

Biarlah. Mataku masih berat. Dan bagaikan dilem, kelopaknya tertutup rapat.

Maafkan hamba, Ya Allah… Malam ini hamba tak bisa bercinta dengan-Mu…

Tujuh puluh lima menit kemudian, aku dikejutkan suara adzan subuh. Bergegas aku bangun. Berwudlu dan salat.

Aku yang semalam menginap di kosan Ucah, buru-buru untuk pulang. Aku ada kuliah pagi. Tepat jam 04.30 WIB, kakiku menapaki aspal di sepanjang Jalan Jawa. Sesekali aku menoleh ke belakang. Menunggu angkot.

Tapi yang kuharap tak muncul-muncul. Aku pun terus melangkah. Kulihat beberapa pasukan kuning sudah menekuri pekerjaannya. Saat aku melewati salah seorang dari mereka, seorang bapak memandangku aneh. Aku tersenyum.

“Pak.” Sapaku.

“Mau kemana, Mbak?” Bapak itu juga tersenyum.

“Mau pulang, Pak.”

“Jalan kaki?”

“Iya, Pak. Biasanya jam segini sudah ada angkot. Tapi kok masih belum muncul-muncul, ya Pak?”

“Ditunggu saja dulu, siapa tau sebentar lagi ada.”

“Iya, Pak. Sekalian sambil jalan-jalan. Mari, ya Pak…”

“Iya, Mbak, monggo…

Bapak itu meneruskan menyapunya. Sungguh pekerjaan yang mulia. Semoga Allah senantiasa memuliakanmu, Bapak. Semulia pekerjaan yang telah engkau tekuni dengan ke ikhlasan dan kesabaran. Batinku.

Entah sudah berapa banyak langkahku. Tapi angkot yang kutunggu belum menampakkan warna kuningnya. Kurasakan alam masih terbalut dingin.

“Becak, Mbak?”

Aku menoleh. Seorang Abang Becak menawari jasanya. Samar-samar kulihat matanya berbinar. Ada seutas harapan di sana.

“Nggak, Bang.”

Tapi aku telah meluluhkan harapannya. Abang Becak kecewa. Dia kembali duduk.

Semoga Allah mendatangkan rejekimu dari orang lain. Dari arah yang Allah ridloi. Doaku untuk si Abang Becak.

Sampai di perempatan, di sebelah kiri jalan, kulihat banyak kaum Adam yang berkumpul di sana. Semua pandangan tertuju ke sebuah benda kotak ukuran sedang. Ah, rupanya mereka sedang menonton bola.

Sering aku merasa heran. Kenapa, ya, pemerintah kok begitu rela membayar mahal pemain sepak bola? Padahal begitu banyak rakyat yang melarat di seluruh pojok negeri. Kenapa uangnya tidak diberikan pada si Miskin saja? Ah, aku juga tak mengerti apa-apa.

Di perempatan itu aku menyeberang dan terus menyusuri Jalan Bengawan Solo. Aku tak mengharap angkot lagi. Aku terus saja mengikuti kelokan jalan itu.

Sampai di Jembatan Semanggi, aku melihat kebawah. Tepatnya ke sungai besar yang berair keruh. Tak jarang pengendara motor memandangku aneh.

Aku senyum-senyum sendiri. Bagaimana tidak aneh. Di pagi-pagi buta begini, seorang perempuan berjilbab sedang berjalan seorang diri. Di tempat yang sepi, lagi! Masya Allah…

Tapi aku tak peduli. Mataku menyusuri pemandangan sekitar. Hm...bagus juga dibuat setting sebuah film horror. Aku jadi pingin buat film dengan judul Hantu Berjilbab. Pasti seru. Lalu siapa yang jadi hantunya? Aku saja, mungkin. Hehehe…

Segini saja orang-orang sudah pada takut dengan wajahku yang ancur, apa lagi aku jadi hantu? Fuh! Bersyukurlah Dian, dengan yang Allah berikan…

Sesampainya di Jalan Ahmad Yani aku beriringan dengan seorang pedagang makanan yang menuntun sepeda engkol-nya.

“Bapak tiap hari gini, ya?” Sapaku duluan.

Beh, iya, Mbak!” Bapak itu menjawab dengan gaya khas maduranya yang kental. Sama seperti aku.

“Tadi berangkatnya jam berapa, Pak?”

Beh, saya tadi berangkatnya jam empat, Mbak.”

“Jam empat? Begitu setiap hari?”

Beh, iya, Mbak. Setiap hari saya berangkatnya jam empat!” Serunya lagi.

Robbi…semoga hari ini, dan hari-hari berikutnya dagangan Bapak ini laris agar dia bisa menghidupi keluarganya dan dapat menyekolahkan anak-anaknya. Amin…

“Pak, saya duluan, ya…”

Bapak itu mengangguk dan aku berjalan mendahuluinya.

Dan entah sudah berapa pedagang, berapa pemulung yang aku wawancarai. Kadang aku punya keinginan untuk menjadi wartawan. Dan aku juga punya keinginan (yang amat sangat) membuat sebuah film dokumenter.

Saat aku utarakan keinginanku itu pada kakak, kakakku bilang, “Doakan kakak. Kakak mau buat bisnis. Kalau kakak sukses, nanti kamu kakak belikan handycam.

Ah, Kakak. Betapa sayangnya Kakak pada adikmu yang di mata saudara-saudara terkenal dengan kenakalannya ini. Aku akan selalu berdo’a untuk kesuksesan Kakak. Bukan untuk sebuah handycam.

Tak terasa aku sudah sampai di Jalan Trunojoyo. Aku berjalan melewati trotoar.

“Dari mana, Mbak?!”

Telingaku menangkap sebuah suara dingin dan bernada tak suka. Rupanya suara itu berasal dari seorang laki-laki berbaju abu-abu dan bercelana cokelat tua, berkulit putih, berpostur tinggi dan berbadan kekar. Tersimpan ketampanan nyata di balik wajah angkernya.

“Dari kampus, Pak.”

Aku cengengesan dan cepat-cepat berlalu. Aku tak ingin laki-laki itu menginterogasiku lebih lanjut.

Hm…jangan-jangan dia sudah berpikir jelek tentang aku. Ups! Bukannya kini aku, yang telah su’uzhon padanya? Astaghfirullahal ‘azhim…

Kini aku sudah memasuki Gang Indra sebelah Bakso Kota yang bersebelahan dengan Gramedia. Setelah kedua kakiku menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 3 Km, aku baru benar-benar sampai di rumah. Kulihat jam menunjukkan angka lima lewat empat menit. Tanpa buang waktu aku langsung mandi, berganti pakaian, dan terus sarapan.

Dan begitu selesai makan, aku langsung berangkat dengan tungganganku yang selalu setia menemani hari-hariku ke kampus. Sebuah sepeda engkol berwarna merah!

Sesampainya di kampus aku memarkir sepedaku. Aku pun melangkah menuju kosan Ucah. Kulihat trotoar di sepanjang Jalan Jawa sudah berbaris rapi warung-warung lesehan. Para manusia dan mahasiswa dari berbagai golongan dan beraneka aktifitasnya telah bergerak menyambut hari. Sungguh kontras dengan keadaan subuh tadi.

Dan baru kusadari betisku terasa seakan ada benjolan-benjolan yang menggelantunginya. Berat kulangkahkan kakiku. Subuh tadi telah membuatku lelah. Lelah yang begitu indah… *

Jember, 24 Mei 2008



DASTER UNTUK IBU

Aku melihat ibu yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah kami. Jemuran itu banyak sekali. Semua bagus-bagus. Dan semua adalah milik tetangga yang menggunakan jasa ibu sebagai buruh cuci. Kawat yang dipasang bapak panjang sekali dan ada delapan shaf. Setiap hari kawat jemuran itu selalu penuh. Kadang aku iseng menghitung pakaian-pakaian yang dijemur ibu.

Seperti hari itu. Aku duduk di atas kayu bakar yang belum kering betul karena hujan yang selalu datang beberapa hari ini. Dan aku pun mulai menghitung jemuran ibu. Semua ada tujuh puluh dua potong ples pakaian dalamnya. Tujuh puluh empat dengan seragam putih biru tuaku.

“Sarni, tolong ambilkan cucian yang di timba itu!” Perintah ibu padaku.

Aku segera memenuhi suruhannya. Oh, cucian ibu masih ada. Berarti jemuran ibu jumlahnya lebih dari yang kuhitung tadi. Setelah menyerahkan timba pada ibu, aku kembali duduk dan mulai meneruskan menghitungku.

Saat hitungan kedelapan puluh, aku melihat ibu sedang memandangi daster merah jambu yang dijemurnya. Aku heran pada ibu. Mengapa beliau selalu memandang lekat daster bermotif bunga-bunga dengan benang emas itu? Mungkin ibu menginginkannya. Tapi aku tak pernah berani menanyakannya pada ibu. Aku takut dimarahinya.

Suatu ketika saat aku mengantar pakaian pada Bu Hajjah Rosidah, iseng aku bertanya harga daster yang memang terlihat indah itu.

“Harganya dua ratus lima puluh ribu rupiah. Saya membelinya saat berkunjung ke rumah saudara di Solo,” begitu jawab Bu Hajjah menjelasakan padaku. Dan angka yang disebutkannya barusan membuatku menelan lidah sebanyak-banyaknya.

“Oh!” Hanya itu kata yang keluar dari mulutku sebelum aku pamit pulang.

Suatu pagi saat ibu sedang asyik dengan cuciannya, aku mengutarakan keanehan ibu pada bapak. Ibu yang selalu termangu-mangu setiap mencuci, menjemur, mengangkat, menyeterika dan melipat daster milik Bu Hajjah Rosidah.

Bapak hanya tersenyum dan tidak berkomentar apa-apa. Ah, bapak. Mungkin kantongnya terlalu kempes untuk membelikan ibu sebuah daster yang tidak terlalu mahal sekalipun. Bapak lalu pergi sambil memikul pacul di pundaknya. Ibu buruh cuci, bapak buruh tani.

Aku ingin menjadi “buruh” negara, menjadi duta Indonesia….

****

Malam gerimis yang cukup deras menyelimuti aku dan ibu yang berada di ruang tamu. Kami sedang menunggu bapak yang pamit sejak sore tadi. Ibu gelisah dan mondar-mandir sambil melongok keluar. Sedang aku hanya menopang dagu sambil memandangi tetesan air hujan yang jatuh ke bak melalui celah genteng rumah kami yang bocor di sana-sini.

Ketika gerimis mulai reda, bapak datang dengan capil lebar yang menutupi kepalanya. Payung satu-satunya milik kami rusak sebulan yang lalu. Kulihat bapak menenteng kresek putih. Dan ibu menyambutnya dengan omelan.

“Bapak ini kemana saja sih, kok lama sekali perginya? Ibu kan khawatir, Pak. Mana gerimis cukup deras!”

“Sudah Bu, gak usah marah-marah terus. Ini dicoba dulu, siapa tau kurang pas.” Bapak selalu tenang menghadapi ibu.

Ibu mengambil kresek yang diberikan bapak dengan kasar. Lalu ibu membukanya. Dan….

Subhanallah, Bapak…. Ini untuk ibu?” Ibu berteriak demi melihat sepotong daster nan anggun yang dibebernya. Aku pun terperanjat.

“Sudah, ndang dijajal sana!”

Tanpa babibu lagi, ibu segera berlari ke kamar.

Beberapa menit kemudian ibu keluar dengan daster itu lengkap dengan kerudungnya. Ah, ternyata ibu cukup cantik.

“Pas banget, Pak! Dari mana Bapak dapat duwit untuk membeli daster sebagus ini?” Ibu muter-muter di depan bapak.

“Sebenarnya sudah lama bapak punya simpanan untuk membeli daster ini untuk ibu. Tapi baru hari ini bapak bisa melaksanakan niat itu.” Seperti biasa, bapak selalu bersikap tenang.

Kulihat wajah ibu begitu berseri-seri. Ibu sangat senang karena daster idamannya kini sudah melekat di tubuhnya yang kurus. Aku lalu buru-buru ke dapur untuk membuatkan kopinya bapak. Di dapur aku menangis. Malam itu aku bahagia sekali. Sudah lama aku tak melihat senyum ibu.

Ya Allah, terima kasih atas segala rahmat-Mu....*


Jember, 15 November 2008

Komentar